Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sunda Wiwitan, Ketika Mereka Dipaksa Jadi "Bunglon"

Kompas.com - 14/11/2014, 16:22 WIB
Kontributor Bandung, Reni Susanti

Penulis

Pada tahun 1998, ia mulai berani mengosongkan agama di KTP-nya. Begitu ia menerima kolom agama kosong di KTP, dengan bangga dia menuliskan "Sunda Wiwitan" sebelum dilaminating.

Keputusannya ini bukan tanpa risiko karena banyak orang melirik sinis padanya. Ira dianggap kafir dan kepercayaan yang dianutnya dinilai aliran sesat.

"Dari kecil, saya sudah terbiasa dengan berbagai diskriminasi, mulai dari sebutan kafir, aliran sesat, dan cibiran lainnya. Sebagai manusia biasa, tentunya saya terkadang down," ujarnya.

Seperti saat hendak bekerja di salah satu perguruan tinggi negeri (PTN) di Bandung. Ira nyaris tak memperoleh pekerjaan tersebut. Dia dihambat, bahkan dipermasalahkan untuk menjadi PNS karena dianggap berbeda. Namun, setelah berjuang bertahun-tahun dibantu Guru Besar Antropologi, dia berhasil lolos menjadi PNS, meski masih ada orang yang mempermasalahkan hal itu sampai sekarang.

Jika ingin sederhana, kata Ira, gampang saja. Ia tinggal mengisi kolom agama dan tidak akan mengalami berbagai diskriminasi, termasuk berkali-kali putus dengan pacar.

Sambil tersenyum Ira menceritakan, saat kuliah di Unpad, ia beberapa kali gagal membina hubungan karena agama yang dianutnya. Akhirnya, ia pun menikah dengan sesama penghayat. Sementara itu, kakak maupun adiknya menikah dengan penganut Kristen dan Hindu sehingga keduanya berpindah keyakinan. Keluarga ataupun lingkungan sekitar tak ada yang mencegahnya.

"Orangtua di Sunda Wiwitan tak pernah memaksa anaknya menikah dengan orang seagama. Itulah mengapa di Cigugur sangat plural. Semua agama hidup rukun berdampingan. Bahkan, dalam satu rumah bisa dihuni pemeluk tiga agama, bahkan lebih," ujarnya.

Kini tantangan berat tengah dihadapi Ira, yakni bagaimana membekali anaknya menjalani kehidupan. Sebagai penghayat Sunda Wiwitan, anak-anaknya harus siap dengan berbagai diskriminasi yang akan menghadang. Karena, mau tak mau harus diakui, hingga kini diskriminasi masih melekat di penghayat Sunda Wiwitan.

Baca juga
Beginilah Diskriminasi yang Dialami Penghayat Sunda Wiwitan...
Penganut Sunda Wiwitan Tak Bisa Punya Akta Nikah?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com