Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berebut Kursi dengan Ternak

Kompas.com - 07/09/2014, 23:33 WIB
Oleh:

KOMPAS.com - Dengan pesawat penerbangan perintis, kita bisa ”melompat” dari satu pulau ke pulau lain di Nusantara. Penuh tantangan, tetapi juga penuh keindahan, dan romantika rakyat yang ingin terbang.

”Terrain… terrain… terrain…!” bunyi itu terdengar belasan kali saat pesawat yang kami tumpangi lepas landas dari Bandar Udara Banda Neira, Maluku. Di bawah kami terbentang lautan Kepulauan Banda, sementara di depan berdiri kokoh perbukitan. Sesekali pesawat terasa anjlok.

Tangan penumpang berpegangan di samping tempat duduk. Suasana menegang. Pesawat hening sehingga teriakan dari alat enhanced ground proximity warning system (EGPWS) itu terasa makin melengking.

Bunyi dari alat EGPWS itu merupakan peringatan bahwa pesawat terlalu dekat dengan halangan. Jika dalam 30 detik pilot gagal bermanuver, pesawat mengalami kecelakaan. Kali itu, nyawa kami benar-benar bergantung pada kecakapan Kapten Boby A Subagio sebagai pilot.

Selang beberapa detik kemudian, Kapten Boby bermanuver dengan membelokkan pesawat Kalibrasi Model B200GT itu ke kiri, meninggalkan Banda menuju Bandara KS Tubun di Langgur, Tual. Begitu pesawat melesat meninggalkan Banda, Boby berkata, ”Sudah aman.”

Para penumpang antara lain Wakil Menteri Perhubungan Bambang Susantono dan Direktur Bandara Kementerian Perhubungan Bambang Tjahjono tampak lega. Ruang kabin pun menghangat dengan beragam obrolan.

Bandara terekstrem

Bandara Banda Neira di Pulau Neira itu diapit Pulau Banda Besar dan Pulau Gunung Api. Panjang landasan hanya 900 meter, yang dihadang laut di setiap ujung. Itu menyulitkan. Hal lain adalah turbulensi akibat angin yang menabrak perbukitan dan kondisi pesawat penuh muatan.

Boby sudah menghitung dengan detail dan menyimpulkan, sangat sulit lepas landas di Banda Neira. Dia telah mempersiapkan diri dengan beristirahat sampai 12 jam sebelum penerbangan. Bahkan, kepada Bambang Tjahjono, Boby mengatakan, ”Kalau gagal take-off, ya kita nyebur laut. Ini kemungkinan terburuk.”

Bagi Boby, yang memiliki sekitar 9.000 jam terbang itu, Bandara Banda Neira adalah bandara terekstrem yang pernah dia jelajahi. Dia merasa lolos dari lubang jarum begitu sukses lepas landas dari Banda Neira.

Pilot Aviastar Kapten Amrullah Hasyim mengakui bahwa Bandara Banda Neira adalah salah satu bandara terekstrem yang pernah ia jelajahi. Pilot dengan sekitar 11.200 jam terbang itu menyarankan agar para penerbang pemula sebaiknya menghindari bandara ini.

Bandara Banda Neira memang unik. Keunikannya tersebut lebih karena kondisinya yang rawan bahaya. Bahkan, pesawat dilarang mendarat di atas pukul 09.00 karena cuaca dan anginnya buruk. Wajar jika ada yang memasukkan Bandara Banda Neira sebagai salah satu bandara dengan kondisi terekstrem di dunia sejajar dengan Bandara Tenzing-Hillary di Nepal dan Bandara Courchevel di Perancis.

Pada saat kami hendak lepas landas, Kepala Bandara Banda Neira Baltasar Latupeirissa memastikan kondisi angin dan cuaca tidak membahayakan penerbangan. Dia terlebih dulu berkonsultasi dengan kantor Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika setempat.
Timbang badan dulu

Penerbangan pesawat selalu memosisikan penumpang dalam bahaya. Kedisiplinan menjadi tonggak penangkal bahaya tersebut. Di Papua, Aviastar menimbang satu per satu berat badan penumpang dan barang bawaannya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com