Tindakan oknum tentara itu mengundang reaksi dari pemantau pemilu. Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) menilai, tindakan tersebut tak dibenarkan dan masuk kategori pelanggaran serius pemilu. Dokumen C1 hanya boleh dipegang saksi, mewakili peserta pemilu, KPU, dan Panwaslu.
"Pihak lain tak perlu meminta, apalagi memaksa KPU memberi C1," kata Koordinator Nasional JPPR, M Afifuddin.
Hal senada diungkapkan mantan Ketua KPU Makassar, Nurmal Idrus. Dia menyebut permintaan TNI terhadap C1 sebagai sesuatu yang janggal, dan bisa masuk pelanggaran pemilu jika dikabulkan.
"Tindakan ini mengarah pada intimidasi terhadap penyelenggara pemilu," ujarnya.
Pengamat politik Unismuh, Arqam Azikin, mempertegas fungsi aparat keamanan, baik itu kepolisian maupun TNI dalam penyelenggaraan pemilu.
Hal ini diungkapkan Arqam terkait adanya perintah Pangdam VII Wirabuana yang meminta formulir C1 hasil penghitungan suara ke KPU dan Panwaslu di Sulsel.
"Justru TNI dan Polisi bertanggung jawab menjaga penyelenggara agar tidak ada upaya intimidasi, baik dari peserta pemilu maupun pihak lainnya. Jadi, TNI dan Polri turut bertanggung jawab terhadap independensi lembaga ini," kata Arqam.
KPU daerah
Dikonfirmasi terpisah, empat komisioner pemilu menyebut tak ada permintaan resmi dari tentara. Ketua KPU Parepare Nur Nahdiah memastikan tidak ada anggota TNI yang meminta C1.
"Saya memang dengar ada yang meminta data C1, seperti di Makassar dan Pangkep," kata Nur Nahdiah.
Namun, dia mengatakan bahwa memang ada anggota TNI yang memotret formulir C1 saat proses rekapitulasi digelar di tingkat kelurahan.
"Kalau di tingkat kelurahan memang ada. Tapi itu sebatas foto saja, sama yang dilakukan teman-teman panwas," tambahnya.
Dia juga mengatakan bahwa memotret C1 tidak bisa dilarang lantaran itu memang dokumen untuk publik.
Sementara itu, KPU Bulukumba dan Sinjai juga membantah jika ada dari pihak TNI yang mengambil C1 hasil Pilpres 9 Juli lalu di Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) ataupun di kantor KPU.