Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ada Ulos, Ada Batak

Kompas.com - 30/03/2014, 09:51 WIB

Oleh:

KOMPAS.com - Sebagai artefak budaya, ulos mencoba terus beradaptasi dalam titian zaman. Kesetiaan dan kreativitas petenun menjadi penggerak keberlangsungan ulos. Sebab, tanpa ulos, tiada pula yang disebut sebagai Batak.

Kabut pagi yang tipis masih membayangi permukaan Danau Toba ketika tiga petenun muda di Samosir pergi mandi dan mencuci baju. Dina Simbolon (24), Royani Turnip (19), dan Bunga Nainggolan (18) berjalan beriring sembari membawa perlengkapan mandi. Hari itu, suplai air pipa di Desa Lumban Suhi-suhi di Pulau Samosir tak mengalir. Mandi di danau menjadi solusi praktis.

Sambil mencuci baju, Nani menyetel lagu di ponselnya. Lagu era 1990-an dari Michael Bolton, ”Said I Loved You but I Lied”, terdengar di antara suara kecipak air di tepian danau. Sementara itu, Dina dan Bunga sudah asyik mandi dan berenang di danau. ”Rencana saya sebenarnya pingin kuliah di fakultas hukum,” kata Nani dengan rona wajah malu-malu.

Dalam rangka merajut impiannya itulah, Nani kini tekun menenun ulos. Uang yang terkumpul dari ulos ditabungnya untuk modal sekolah di perguruan tinggi. Bagi banyak orang Batak, pendidikan merupakan hal yang teramat penting. Orang Batak tidak sudi menderita demi mencapai pendidikan tinggi. Tidak terkecuali perempuan. Tidak heran Nani pun memendam tekad serupa.

Terbang ke New York

Seperti juga temannya yang lain, gadis muda Batak kini mulai menekuni keterampilan menenun. Menenun menjadi sumber penghasilan tambahan bagi keluarga, selain bertani. Nani dan teman-temannya belajar menenun di bengkel tenun sederhana milik desainer tekstil Merdi Sihombing di Desa Lumban Suhi-suhi, Samosir, Sumatera Utara.

Sejak berbulan-bulan sebelumnya, bersama Lusi Nainggolan, istri Merdi, Nani dan temannya menenun ulos-ulos indah yang lalu dibawa Merdi ke New York, Amerika Serikat. Ulos-ulos sutra karya para petenun muda asal Samosir itu sejak 12 Maret hingga 27 Juli mendatang dipamerkan di Skylight Gallery, Charles B Wang Centre, Stony Brook University, New York. Pameran bertema ”Seas
of Blue: Asian Indigo Dye” itu diikuti empat negara saja dari Asia, yakni Indonesia, Jepang, Korea Selatan, dan India.

Merajut harapan

Dari bengkel sederhana tadi, sebuah harapan dirajut. Gadis-gadis muda Batak sudi menenun ulos sekalipun itu sebagai batu loncatan untuk meraih mimpi yang lain. Namun, setidaknya proses regenerasi petenun ulos telah menapaki jalannya. Dan, jalan itu menjadi niscaya ketika ulos dikemas Merdi menjadi bukan sekadar sebagai artefak budaya atau perangkat adat, melainkan juga sebagai komoditas mode.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI Proses menyirat ulos


Ulos secara umum menggunakan teknik ikat yang disebut gatip, yakni benang lungsi diikat sebelum dicelup pewarna, untuk mengisolasi bagian yang tak ingin diwarnai. Teknik ini memunculkan motif saat ditenun. Ulos kemudian diberi tambahan sirat, semacam pembatas di kedua ujung ulos yang dikerjakan oleh perajin sirat. Sirat biasanya mengambil motif gorga, ukiran khas pada rumah adat Batak.

Ulos karya para petenun muda binaan Merdi dibuat dari serat sutra alam dan pewarna alami dari dedaunan nila atau indigo (Indigofera tinctoria) yang banyak tumbuh subur di kawasan Danau Toba. Indigo inilah yang zaman dahulu—sebelum dikenalnya pewarna kimia—digunakan para petenun ulos. Bagi Merdi, penggunaan kembali pewarna indigo merupakan hasratnya untuk mengembalikan kekhasan sejati ulos dari masa lampau dalam konteks zaman terkini.

Beradaptasi dengan zaman juga menjadi jalan yang ditempuh tenun uis gara—sebutan untuk ulos—di Tanah Karo. Sahat Tambun, pemilik usaha tenun uis Trias Tambun di Kabanjahe, mengolah uis gara bukan sekadar untuk keperluan adat, melainkan juga aneka kerajinan dan ornamen hiasan interior. Bahkan, Sahat juga berkreasi memodifikasi motif. Salah satunya dengan memadukan motif khas Karo, yakni legot, dengan motif lurik, salah satu tenun khas Jawa. Hasilnya amatlah menawan.

Lain lagi kreasi yang dicipta petenun hiou (ulos) Bob Damanik di Pematang Siantar. Sebuah alat tenun bukan mesin (ATBM) berukuran cukup besar menyesaki bagian belakang rumahnya. Dengan alat tenun ini, Bob menenun sekaligus membuat gatip. Jalinan benang lungsi yang sudah tersusun pada alat tenun sebagian diisolasi dengan bilah-bilah bambu sesuai motif gatip. Bob kemudian mengambil pewarna dan mengecat benang yang tak terisolasi bambu. ”Lihat, tinggal cat benang langsung kering, jadi sudah gatip,” ujarnya terkekeh.

Dengan cara begitu, Bob berhemat waktu banyak dalam proses membuat gatip. Sehelai hiou bermotif tapak catur pun dapat selesai dalam waktu sehari-dua hari saja.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com