Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pematang Siantar Kota Pendidikan

Kompas.com - 11/01/2014, 21:33 WIB

KOMPAS.com - Banyak tokoh nasional lahir di kota yang berjarak sekitar 48 kilometer dari bibir Danau Toba ini. Terkenal sebagai kota pendidikan—sekaligus kota preman—pada awal masa kemerdekaan, kota ini sempat menjadi ibu kota Sumatera Utara menggantikan Medan.

Hawa sejuk menyelusup dari jendela kamar tempat saya menginap di sebuah hotel melati di Pematang Siantar. Malam itu, jarum pendek jam di dinding baru menunjuk angka 9. Saya kemudian menelepon seorang kawan asli Siantar untuk keliling kota seluas 79,97 kilometer persegi ini untuk sekadar mencari camilan.

Kami mengendarai sepeda motor menyusuri Jalan Sutomo dan Jalan Merdeka. Namun, jalanan lengang dan toko-toko tutup. Padahal, siang harinya, dua jalan ini padat oleh kendaraan bermotor dan ratusan warga yang sibuk belanja. ”Kota Siantar memang cepat tidur,” kata rekan saya, Dhev Bakkara (26).

Kesan serupa diungkapkan J Anto (49), penulis yang pernah bersembunyi di Pematang Siantar selama tiga tahun dari kejaran aparat Orde Baru. Dia mengesankan Pematang Siantar sebagai kota yang tenang dan toleran.

Rumah-rumah ibadah berdiri berdampingan, seperti Masjid Bakti dan Gereja Kristen Protestan Indonesia di Kelurahan Pondok Sayur, Kecamatan Martoba. Juga terdapat Wihara Avalokitesvara yang di depannya berdiri kokoh patung Dewi Kwan Im setinggi 22,8 meter.

Anto juga merasakan harmoni di pasar tradisional Horas di Jalan Merdeka. Pedagang Muslim dan non-Muslim berjualan secara berdampingan. Mereka dari beragam etnis, mulai dari Batak Simalungun, Jawa, hingga China. Kondisi serupa terlihat di Pasar Dwikora, Jalan Sutomo.

Kemajemukan Kota Siantar ini diakui Anto turut menyamarkan persembunyiannya. Orang-orang tidak peduli dengan raut mukanya yang khas China karena di Siantar banyak juga yang mirip Anto. Anto bersembunyi di Pematang Siantar dan Kabupaten Simalungun selama kurun waktu tahun 1993-1996 sebelum menetap di Medan.

Kota Pematang Siantar memberikan kedamaian bagi warganya. Belum pernah dalam sejarahnya muncul konflik horizontal berbasis agama, suku, ataupun ras. Kota yang berada pada ketinggian 400 meter di atas permukaan laut ini menyajikan udara sejuk sehingga makin nyaman untuk ditinggali. ”Cocok banget untuk menghabiskan masa tua,” kata Sabrina Siagian (29), eksekutif muda.

Siantar memiliki arti penting bagi Sumatera Utara (Sumut), terutama pada masa kemerdekaan. Kota ini sempat menjadi ibu kota Sumut pada April 1946 sampai Juli 1947. Saat itu, Medan dikuasai Belanda, kemudian Gubernur Sumut Mohammad Hasan memilih Pematang Siantar sebagai ibu kota alternatif. Alasannya, infrastruktur Siantar memadai dan berada di lokasi strategis.

Kota pendidikan

Kota yang berjarak 128 kilometer dari Medan ini telah melahirkan puluhan tokoh nasional. Sebutlah mantan Wakil Presiden Adam Malik Batubara, filsuf Muslim Harun Nasution, petinju Syamsul Anwar Harahap, pencipta lagu-lagu perjuangan Cornel Simanjuntak, mantan Menteri Pertanian Bungaran Saragih, dan anggota Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Hankam, TB Silalahi. Mereka lahir di Pematang Siantar.

Para tokoh nasional itu berpikir maju dan turut membangun negeri ini, antara lain, berkat kemajuan pendidikan di Pematang Siantar. ”Ketika warga daerah di sekitarnya masih buta huruf, di Siantar sudah berdiri sekolah,” kata sejarawan dari Universitas Simalungun, Hisarma Saragih.

Dia menambahkan, lembaga pendidikan mirip sekolah sudah ada di Siantar sejak daerah ini masih berupa kerajaan. Anak raja dan petinggi kerajaan dididik secara khusus untuk disiapkan menjadi generasi penerus. Pendidikan yang diberikan, antara lain, mengenai etika, tata pemerintahan, dan ilmu pengobatan. Ini berlangsung hingga tahun 1900-an.

Pola pendidikan di Siantar mengalami modernisasi sejak utusan zending Jerman, Rheinische Missionsgesellschaft (RMG), datang menyebarkan agama. Untuk memudahkan warga dalam memahami Injil, zending mengusulkan dibangun sekolah. Sebuah sekolah didirikan RMG pada tahun 1904 di Bulu Raya (sekarang masuk Kabupaten Simalungun setelah Pematang Siantar menjadi kotamadya pada 1074).

Pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam penyebaran agama di samping kesehatan. ”Jika warga tidak cakap baca tulis, mereka sulit memahami Injil. Tahun 1910 mulai dibuka sekolah. Semua warga diimbau untuk bersekolah,” kata Hisarma.

Juandaha R Purba Dasuha dan Erond L Damanik dalam buku Kerajaan Siantar: Dari Pulou Holang ke Kota Pematang Siantar (2011) menjelaskan, kemajuan pendidikan di Siantar juga merupakan bagian dari penerapan politik etis yang dianut Belanda sejak 1899.

Tahun 1915 berdiri sekolah swasta khusus anak-anak Eropa di Siantar. Setahun kemudian berdiri sekolah anak raja dan elite Siantar, Hollandsch Inlandsche School.

Sebelumnya sudah beroperasi sekolah yang didirikan etnis China pada tahun 1909. Sekarang sekolah ini menjadi Perguruan Sultan Agung, disusul oleh misi dari Amerika, Metodis, yang mendirikan sekolah pada tahun 1921.

Kesadaran untuk sekolah terus tumbuh dan warga malu jika tidak tamat sekolah. Ini tecermin dalam ungkapan maila do mulak humbani bonani buluh yang secara harfiah berarti ’malu pulang dari pangkal bambu’.

Kemajuan pendidikan di Pematang Siantar itu juga ditopang oleh perkembangan perkebunan di Sumatera Timur. Saat itu, Pematang Siantar yang masih bergabung dengan Simalungun menjadi salah satu pusat perkebunan.

Dewasa ini, setelah berpisah dari Kabupaten Simalungun, terdapat 7 perguruan tinggi, 28 sekolah menengah atas, 43 sekolah menengah pertama, dan 160 sekolah dasar di Pematang Siantar. Kemajuan pendidikan memacu warga luar kota menyekolahkan anaknya di Siantar. ()

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com