Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

DPRD: Kolaka Merugi Triliunan Rupiah Akibat Pertambangan

Kompas.com - 17/12/2013, 17:08 WIB
Kontributor Kolaka, Suparman Sultan

Penulis


KOLAKA, KOMPAS.com - Kerusakan lingkungan di Kolaka, Sulawesi Tenggara saat ini sudah sangat memprihatinkan. Akibat kerusakan lingkungan itu, kerugian materi yang diderita Kabupaten Kolaka mencapai Rp 1 triliun. Hal itu disampaikan anggota Komisi II DPRD Kolaka, Akring Johar.

Menurutnya, penyumbang terbesar kerusakan lingkungan berasal dari aktivitas pertambangan. Kepada Kompas.com, Akring mengungkapkan, kerusakan lingkungan Kolaka yang disebabkan aktivitas tambang diawali dengan kebijakan Bupati Kolaka nonaktif, Buhari Matta yang banyak mengeluarkan izin pertambangan sejak tahun 2007 silam. Para perusahaan tambang ini beroperasi di blok Pomalaa. Sejak itu pula, kerusakan lingkungan Kolaka mulai terjadi.

"Sejak tahun 2007 silam, ini akibat kebijakan Bupati Kolaka yang sudah nonaktif, Buhari Matta. Kenapa saya katakan demikian, sebab sejak menjadi Bupati Kolaka dua periode sangat luar biasa. Banyaknya perusahaan tambang diberi izin. Akibatnya, kerusakan lingkungan itu berdampak hingga saat ini," ucapnya, Selasa (17/12/2013).

Akring Johar mempertegas sekitar 5.000 hektar lahan yang telah digarap oleh perusahaan tambang tanpa adanya reklamasi hingga saat ini.

"Jaminan reklamasi dari tahun 2007 hingga saat ini tidak sampai Rp 100 miliar. Sementara dampak kerusakan lingkungan secara materi mencapai triliunan. Sekarang siapa yang mau jamin semua itu? Di Kolaka, dana jaminan reklamasi itu hanya Rp 70 juta per hektar, itupun nanti berlakunya awal tahun 2013. Sementara sejak 2007 hingga akhir 2012, jaminan reklamasi itu tidak ada," tegasnya.

Jika reklamasi lokasi tambang pada akhirnya akan dibiayai oleh Pemda Kolaka, maka APBD Kolaka tidak akan bisa menopangnya. "Dua kali APBD kita di Kolaka ini tidak akan bisa menopang biaya reklamasi itu kalau pada akhirnya kita yang harus biayai itu," jelasnya.

Ditanya upaya DPRD mencegah kerusakan lingkungan, Akring mengaku pihaknya sudah meminta pemerintah menghentikan aktivitas. "Sudah tiga kali kami keluarkan surat rekomendasi penghentian aktivitas tambang pada pemda, sebanyak itu pula surat tersebut tidak digubris. Ini yang kami sesalkan, kerusakan lingkungan diwariskan kepada anak cucu kami," keluhnya.

Secara terpisah, warga Desa Hakatutobu mengaku saat ini takut terkena bencana banjir dan tanah longsor dari lokasi tambang. Sebab, desa mereka berada di kaki gunung blok Pomalaa yang merupakan lokasi pertambangan.

"Perasaan takut itu selalu muncul kalau hujan turun. Desa kami ini di atasnya itu lahan tambang," ucap pria yang enggan namanya disebutkan saat dihubungi melalui telepon seluler.

Tidak adanya regulasi dana jaminan reklamasi pada tahun 2007 hingga 2012 dibenarkan oleh salah satu staf Bidang Pertambangan Umum, Distamben Kolaka. Pria yang namanya enggan disebutkan itu mengaku lebih dari lima tahun perusahaan tambang tidak menyetorkan jaminan reklamasi. Namun sayangnya, dia tidak mau menyebutkan jumlah perusahaan yang beroperasi sejak tahun 2007 hingga saat ini.

"Jadi saat itu tidak ada jaminan reklamasi, sebab aturannya belum dibuat. Perusahaan hanya dibebankan memberikan royalti kepada masyarakat dan mendukung program kerja pemerintah," katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com