Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menyusuri Jejak Masuknya Tambang di Bengkulu

Kompas.com - 30/11/2013, 12:18 WIB
Kontributor Bengkulu, Firmansyah

Penulis

BENGKULU, KOMPAS.com - Layaknya daerah di Nusantara lainnya, Bengkulu pun memiliki sejarah panjang dalam hempasan kolonialisme. Prasasti, catatan sejarah, dan beberapa bukti historis lainnya hingga kini masih dapat ditemukan sebagai bukti perlawanan rakyat dalam mengusir penjajah.

Ketika membuka catatan sejarah itu, ternyata terbuka juga bahwa selain rempah-rempah, kaum imperialis itu juga mencari emas.

Jauh sebelum itu pada abad 13, perburuan emas telah dilakukan oleh para raja di sepanjang pulau Sumatera. Sebut saja Raja Pagaruyung Sultan Daulat Mahkota Alamsyah yang memerintahkan Tuanku Imbang Jaya untuk mencari daerah baru yang tanahnya mengandung emas di daerah Kerinci, Jambi.

Setelah menemukan tambang emas di Kerinci, perburuan urat emas pun dilanjutkan ke daerah lain. Hingga mencapai pedalaman Lebong, Bengkulu.

Kabupaten Lebong merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Bengkulu. Kawasan ini dikelilingi barisan Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS). Dari sinilah pusat penghasil emas dan eksploitasi pertambangan di Bengkulu dimulai.

Dominasi kelompok elite dalam hal ini raja dalam penguasaan emas tergerus ketika Perusahaan tambang Belanda, mulai melakukan kegiatan penambangan di Bengkulu setelah ditemukannya formasi Lebong pada tahun 1890.

Penambangan emas tertua di antaranya dilakukan oleh perusahaan Mijnbouw Maatschappij Redjang Lebong dan Mijnbouw Maatschappij Simau yang berada di Lebong, Bengkulu.

Kedua perusahaan itu merupakan penyumbang terbesar ekspor emas perak Hindia Belanda. Misalnya, pada tahun 1919 perusahaan Mijnbouw Maatschappij Redjang Lebong menghasilkan 659 kilogram emas dan 3.859 kilogram perak, dan perusahaan Mijnbouw Maatschappij Simau menghasilkan 1.111 kilogram emas dan 8.836 kilogram perak.

Setidaknya, dua perusahaan ini berhasil meraup 130 ton emas selama berproduksi kurang dari setengah abad (1896-1941). Jejak-jejak sisa penambangan yang dilakukan Belanda di Bengkulu masih dapat ditemui di Ulu Ketenong, Tambang Sawah, Lebong Donok, Lebong Simpang, Lebong Tandai, Kabupaten Lebong.

Dalam beberapa literature, ternyata tidak saja Belanda yang ikut menikmati manisnya emas di daerah ini. Inggris, Spanyol, China, dan Arab ditengarai memiliki andil dalam proses eksploitasi tersebut.

Catatan ini dapat dilihat di beberapa wilayah di Desa Lebong Tandai di mana kelima negara tersebut sempat meninggalkan jejak berupa tulisan, petilasan dan juga makam.

Di beberapa desa yang telah disebutkan itu, banyak ditemukan sisa peninggalan penggalian emas berupa, pabrik, ruang bioskop, tempat prostitusi, dan sebagainya.

Usai masa imperialis, pada kisaran tahun 1980 masuk perusahaan penanaman modal asing melakukan penambangan di daerah itu. Ratusan kepala keluarga yang merupakan keturunan para pekerja tambang pada era kolonialisme yang dibawa dari Pulau Jawa harus pindah ke lokasi lain, dan mendapatkan kompensasi rumah dan pertanian baru.

Kabar angin menyebutkan, bukan penambangan yang dilakukan di wilayah itu melainkan “menggali harta karun”. Hingga kini, beberapa daerah yang masih mengandung emas ditambang oleh rakyat dan beberapa perusahaan skala besar.

Periode Batubara
Memasuki tahun 1980-an, dimulailah periode pertambangan batubara di Bengkulu. Hal ini ditandai dengan ditemukannya Batubara Miosen, yang secara ekonomis ditambang di Cekungan Bengkulu. Lokasi ini membentang mulai dari Kabupaten Bengkulu Tengah, hingga menyebar hampir seluruh provinsi.

Banyak dalih, dan konflik bermunculan ketika aktivitas pertambangan batubara juga hadir di Bengkulu. Konflik agraria, sengketa lahan, rusaknya lingkungan hidup hingga rusaknya jalan utama milik Negara menjadi persoalan.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bengkulu mencatat setidaknya lebih dari 50 perusahaan pertambangan yang telah mendapatkan izin eksplorasi maupun eksploitasi, Batubara, emas, dan pasir besi.

Sayangnya, hasil tambang ini tak satu pun dimanfaatkan untuk kepentingan dalam negeri. “80 persen produksi pertambangan di Indonesia, untuk memenuhi konsumsi negara-negara penyumbang karbon yang memicu pemanasan global seperti, Amerika Serikat, China, India, dan Singapura,” kata Direktur Walhi Bengkulu, Beni Ardiansyah, Sabtu (30/11/2013).

Periode Pasir Besi
Menginjak tahun 2000 satu persatu pengusaha pertambangan mendatangi Bengkulu, tidak saja untuk mencari emas, batubara, tapi mereka juga mencoba melakukan ekspansi mencari mineral dalam bentuk pasir besi.

Beberapa sumber menyebutkan kandungan pasir besi sebagai bahan utama pembuatan baja ini tersimpan miliaran kubik di perut bumi rafflesia itu. Ini terbentang mulai dari Kabupaten Kaur yang berbatasan dengan Lampung, hingga menuju pesisir Kabupaten Mukomuko yang melintasi pinggiran pesisir laut Bengkulu.

Beni melanjutkan, memiliki kekayaan tambang ibarat memiliki surga sekaligus menggenggam neraka. Sejarah pertambangan dunia mencatat tak satu pun negara di belahan bumi yang dimakmurkan oleh hasil tambang.

Provinsi Bangka Belitung sebagai ilustrasi. Provinsi ini tercatat telah 300 tahun berhasil memenuhi 40 persen kebutuhan timah dunia. Namun, apa yang diterima oleh provinsi ini selain pertumpahan darah dan lubang-lubang bekas galian yang bertebaran. Belum lagi rasa cemas yang menghinggapi warga, karena ancaman amblas yang tinggal menghitung waktu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com