Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenal Jiwa Seni Soekarno di Pengasingan

Kompas.com - 17/11/2013, 15:55 WIB
Kontributor Bengkulu, Firmansyah

Penulis


BENGKULU, KOMPAS.com -- Ada yang menarik dalam berjudul Sandiwara Bung Karno  karya Dosen Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Bengkulu, Agus Setyanto. Secara tegas penulis memancing sebuah pertanyaan cukup menggelitik, mengapa hingga kini belum ada pelaku seni maupun produser yang berminat mengadaptasi lakon-lakon yang pernah dipentaskan Bung Karno. Jangan-jangan, memang belum ada yang tahu?

Kepada Kompas.com, Agus Setyanto menyebutkan, ada sekitar 17 naskah yang pernah dibuat Bung Karno semasa pengasingannya baik di Bengkulu maupun di Ende.

"Ada 12 naskah teater di Ende dan lima di Bengkulu," kata Agus, Minggu (17/11/2013).

Menurut dia, Bung Karno merupakan tokoh yang tidak hanya sukses dalam memerdekakan Indonesia tetapi juga dalam seni pertunjukan. Ia pernah sukses sebagai penulis naskah, sutradara, manajer, dan sekaligus produser sandiwara tonil yang diberi nama “Monte Carlo” di Bengkulu.

Jika Anda sempat berkunjung ke Bengkulu, dan menyinggahi rumah bekas pengasingan Bung Karno, Anda masih dapat melihat eks properti (barang-barang) sandiwara tonil peninggalan Bung Karno.

Ada beberapa kostum, layar, spanduk, serta atribut sandiwaranya. Sayangnya, dari sekian banyak naskah yang pernah ditulisnya, hanya tersisa empat buah naskah, yaitu: Dr. Sjaitan; Chungking Djakarta; Koetkoetbi; dan Rainbow (Poteri Kentjana Boelan). Bahkan, teks naskah Dr. Sjaitan sudah tidak lengkap–hanya ada dua bedrijf (babak) saja– di mana semestinya terdiri atas enam babak (Lambert Giebels, 1999: 201).

Namun, melalui beberapa nara sumber lokal, kandungan cerita naskah Hantoe Goenoeng Boengkoek, Dr. Sjaitan, maupun Si Ketjil (Klein’duimpje) dapat direkonstruksi. Dalam hal penulisan naskah, Bung Karno rupanya tidak mau asal-asalan. Ia berusaha mempelajari berbagai macam cabang ilmu pengetahuan, termasuk ilmu sejarah dan sastra –bahasa.

Referensi pengetahuan serta wawasan kebangsaan Bung Karno yang sangat luas menjadi entitas yang tak terpisahkan dalam implementasi proses gagasan atau ide kreatifnya. Tanpa hal tersebut, akan sulit bagi seorang Bung Karno dalam menciptakan ide-ide kreatif, seperti menginterpretasi film Franskenstein yang amat populer pada saat itu menjadi lakon Dr. Sjaitan dan Koetkoetbi.

Konsep wawasan nasionalisme (wawasan kebangsaan) yang dibangun oleh Bung Karno terbaca jelas dalam naskah Chungking Djakarta. Naskah ini menggambarkan semangat kesadaran nasionalisme bangsa Asia melawan bangsa kolonial. Apa yang dicita-citakan oleh Bung Karno dalam konsep pembangunan politiknya, misal membangun poros Jakarta–Peking, bisa jadi sudah tertuang dalam naskah Chungking Djakarta.

Demikian juga dengan naskah Rainbow (Poetri Kentjana Boelan). Tanpa wawasan pengetahuan sejarah, khususnya sejarah Bengkulu, sulitlah bagi Bung Karno untuk mampu menuangkan cerita epik yang berbau historis dalam naskah tersebut.

Mungkin saja, Bung Karno juga membaca Tambo Bangkahoeloe sebelum menulis naskah Rainbow. Bung Karno amat cerdas menggiring alur cerita berbau roman sejarah yang penuh semangat patriotik, meskipun dalam cerita tokoh sentral yang romantis berakhir dengan tragis atau “romantis membawa tragis”.

Bisa jadi, naskah Rainbow ini merupakan naskah karya Bung Karno yang dapat dikategorikan ke dalam karya sastra sejarah atau tepatnya roman sejarah. Agus Setyanto menambahkan, ada hal menarik dan cukup menonjol tentang perbedaan ketika Bung Karno memimpin sandiwara Kelimutu dengan ketika ia memimpin sandiwara Monte Carlo, terutama dalam penerapan naskah.

Ketika di Endeh, Bung Karno menulis naskah-naskahnya secara garis besar saja, kemudian disampaikan kepada kelompok pemain, lalu menetapkan siapa memegang peran apa, dan selanjutnya mereka disuruh menghafalkan dengan terus mengulang, serta menirukan contoh yang diberikannya (Lambert Giebels, 2001: 200).

Sedangkan dalam Monte Carlo, Bung Karno menulis naskah secara lengkap, meski dalam pelaksanaannya tak jauh berbeda dengan ketika memimpin Kelimutu. Bung Karno tetap mendiktekan naskahnya kepada para pemain yang sudah dipilihnya dan disuruh menghafal secara terus-menerus, serta menirukan perkataan serta gerakan yang diberikannya.

Menurut catatan Kalam Hamidi (2003: 40), dalam hal penyutradaraan, secara teoretis seorang sutradara harus memiliki modal pengalaman, pengetahuan, berbakat pemimpin atau guru, kemampuan meyakinkan para aktor, serta pengetahuan psikologi.

Penekanan-penekanan Hamidi tersebut sudah dilakukan oleh Bung Karno ketika menjadi sutradara dalam pementasan sandiwara Monte Carlo. Lebih lanjut, sebagai sutradara, Bung Karno jelas memberikan latihan terhadap para pemainnya.

Dan tentu saja, sebelumnya Bung Karno telah melakukan seleksi para pemainnya untuk menentukan tokoh dan peran. Selain itu, Bung Karno juga menyiapkan jadwal dan tempat latihannya, gladi resik, hingga persiapan pementasannya.

Bung Karno membutuhkan waktu dua hingga tiga minggu untuk melatih para pemainnya. Bung Karno sangat teliti dalam urusan yang kecil-kecil, termasuk memeriksa kenyamanan dan keamanan lantai panggung yang akan digunakan oleh para pemain, seperti memeriksa kalau ada paku-paku yang membahayakan.

Kesuksesan pertunjukan Monte Carlo ternyata tidak hanya berimbas pada kesejahteran bagi para pemainnya saja, tetapi juga berimbas pada yang lainnya karena sebagian dari hasil pertunjukannya ternyata diamalkan untuk kepentingan sosial. Pada acara pertunjukan, Bung Karno tidak menempatkan diri di belakang layar, seperti halnya yang biasa dilakukan oleh para sutradara pada pertunjukan sandiwara kethoprak maupun ludrug.

Bung Karno justru duduk di kursi barisan depan sejajar dengan para pembesar Belanda, elite pribumi, pengusaha (saudagar), dan orang-orang Tionghoa yang biasanya mengambil karcis loge de luxe (tempat duduk VIP).

Sebelum acara digelar Bung Karno tidak segan-segan membuat famplet dan pengumuman ia bagi-bagikan, layaknya sebuah pertunjukkan kebanyakan. "Minimnya adaptasi karya-karya Bung Karno baik itu oleh pelaku seni maupun produser diakibatkan masyarakat Indonesia tidak memiliki tradisi kuat membaca sehingga tumpukan naskah tersebut berakhir lapuk," kata dia.

Buku yang ia tulis tersebut menggambarkan secara runut melalui analisis proses dan setiap naskah buatan Bung Karno hingga bagaimana sebuah seni pertunjukkan dipentaskan Ia berharap dengan hadirnya buku itu maka naskah-naskah fenomenal Bung Karno dapat dinikmati masyarakat luas secara lugas dan ringan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com