MEMASUKI Provinsi Banten tak ubahnya ke ”rumah” Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Belum jauh melangkah, sejumlah baliho foto keluarganya terpajang di jalan. Mulai dari anaknya, Andiara Aprilia Hikmat, hingga adik tirinya, Tubagus Haerul Jaman.

Dengan senyuman lebar, wajah mereka seperti menjanjikan sebuah harapan. Namun, bagi Ulyati (40) bersama suami, Faid (45), dan tiga anaknya, senyuman itu sungguh pahit.

Warga yang tinggal di Kampung Ciwedus, Kelurahan Mesjid Priyayi, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, atau berjarak hanya 10 kilometer dari Alun-alun Kota Serang, ibu kota Provinsi Banten, itu kini dililit kemiskinan.

Putra bungsu Ulyati, Khairul Anwar (7), yang sejak balita menderita gizi buruk disergap sejumlah penyakit. Tak hanya penyakit polio yang membuat Anwar belum bisa berdiri, apalagi bermain, seperti rekannya seusia, tetapi juga mengidap penyakit tuberkulosis.

Perutnya membuncit dan kakinya mengecil. Anwar juga belum bisa berbicara. Hanya terdengar kata- kata ”ma-ma-ma” dari mulutnya saat memanggil ibundanya.

”Kemarin sudah diperiksa ke klinik terdekat dan kakinya sudah difoto. Namun, mau periksa ke dokter, biayanya takut mahal. Apalagi saya tak punya uang,” kata Ulyati.

Meskipun jumlah keluarga miskin yang mendapat kartu jaminan kesehatan daerah di Provinsi Banten mencapai 807.511 keluarga miskin, Ulyati dan keluarganya tak tersentuh.

Keluarga Ulyati hanya mengandalkan penghasilan suaminya, menjadi buruh jahit di Kota Serang. Penghasilannya tiap hari Rp 25.000-Rp 30.000, hanya cukup untuk makan tiap hari dengan menu seadanya.

”Saat Anwar berumur dua tahun, dan suami saya sama sekali tak bekerja, dia benar-benar sulit. Kami terpaksa makan nasi aking selama tiga bulan,” katanya.

Saat Kompas akhir pekan ini mengunjunginya, dengan bahasa tak jelas, Anwar merengek meminta makan. Ulyati memberinya nasi putih ditaburi garam dan sepotong kecil telur dadar, potongan jatah keluarganya.

Di rumah yang tak jauh dari pantai utara Serang, Ulyati juga terpaksa mengonsumsi air sungai. Padahal, airnya yang berwarna coklat itu digunakan mandi bebek dan kakus. ”Sumur di belakang rumah tak bisa dipakai karena airnya asin. Jadi, hanya untuk mandi dan cuci piring,” kata Ulyati.

Komoditas politis
Wasiudin (50), yang rumahnya tak jauh dari Ulyati, lebih papa lagi nasibnya. Duda dengan lima anak praktis hanya menganggur setelah sebelumnya kerja serabutan. Tak heran jika keempat anaknya hanya tamat sekolah dasar (SD) dan kini menganggur seperti ayahnya.

Hanya putra bungsunya, Tajudin, yang masih duduk di kelas V SD. ”Bagaimana mau sekolah kalau tak punya biaya. Untuk makan saja susah,” ujarnya.

Rumah berukuran sedang warisan orangtua Wasiudin itu kini dihuni 22 jiwa, yang terdiri atas lima keluarga, termasuk keluarganya. Untunglah mereka masih bersaudara. Setiap keluarga menempati satu kamar.

Menurut Wasiudin, menjelang pemilihan kepala daerah, keluarganya didatangi sejumlah elite politik Banten. Mereka meminta dukungan. ”Seperti pilkada wali kota sekarang. Mereka ke sini karena jumlah kami banyak. Tetapi, biasanya, setelah pilkada, kami dilupakan, dan hanya dapat kalender itu,” ujarnya, menunjukkan kalender sang calon.