Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sulsel Berutang Rp 7,9 Miliar untuk Jamuan Makan

Kompas.com - 04/10/2013, 11:11 WIB

MAKASSAR, KOMPAS.com — Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan hingga kini masih berutang kepada sejumlah rekanan sebesar Rp 7,9 miliar untuk biaya jamuan makan dan minum di sejumlah restoran dan hotel.

Oleh sebab itu, untuk menyelesaikan tunggakan yang sudah berjalan beberapa tahun lalu, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Selatan (Sulsel) mengajukan tambahan anggaran kepada DPRD Provinsi Sulsel.

Kepala Biro Umum dan Perlengkapan Pemprov Sulsel Arwien Azis kepada pers di Makassar, Kamis (3/10/2013), mengatakan, total tunggakan biaya jamuan makan dan minum semula Rp 17,9 miliar.

”Namun, pada Januari lalu, kami sudah melunasi Rp 10 miliar sehingga masih tersisa Rp 7,9 miliar,” kata Arwien.

Menurut dia, utang terakumulasi Pemprov Sulsel sudah ada sebelum Sulsel dipimpin Gubernur Syahrul Yasin Limpo, yang mulai menjabat sejak April 2008. "Tunggakan itu tersebar di 16 restoran dan hotel yang sering menjadi tempat acara pemda Sulsel. Anggaran makan dan minum yang ditangani biro umum kerap membengkak karena acara yang diselenggarakan sering tak terjadwal," katanya.

Arwien juga menunjuk acara- acara dadakan yang pernah diadakan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) sering kali anggarannya dibebankan kepada Biro Umum. Hal itu karena jamuan makan dan minum tersebut tak masuk dalam rencana anggaran SKPD bersangkutan. ”Kami harapkan tambahan anggaran ini bisa melunasi kewajiban sehingga tak ada lagi utang,” katanya.

Untuk mencegah terulangnya pemborosan anggaran hanya untuk jamuan makan dan minum, Biro Umum Pemprov Sulsel telah memperketat pengeluaran anggaran tersebut. ”Di antaranya dengan menolak permintaan untuk menutupi biaya makan dan minum di acara-acara yang diselenggarakan SKPD,” ujarnya.
Tak dikabulkan

Terkait dengan adanya tunggakan itu, Wakil Ketua DPRD Provinsi Sulsel Bidang Anggaran Andry Arief Bulu mengatakan, selama ini pihaknya tak pernah menerima laporan tersebut. ”Anggaran makan dan minum yang dialokasikan setiap tahun selalu terpakai habis dan tak pernah ada laporan tunggakan,” katanya.

Menurut Andry, pengajuan tambahan anggaran yang diajukan Pemprov Provinsi Sulsel kemungkinan besar tidak bisa dikabulkan. ”Karena sekarang ini sudah ada program-program prioritas yang juga harus dianggarkan. Hal itu misalnya untuk program pendidikan,” ujarnya.

Sejauh ini, rancangan perubahan APBD Provinsi Sulsel tengah dibahas bersama dengan Pemprov Sulsel.

Jadi pertanyaan

Menurut pengajar sosiologi politik Universitas Hasanuddin, M Darwis, meskipun sulit untuk merencanakan jumlah orang yang akan dijamu, tunggakan jamuan makan dan minum sebesar Rp 7,9 miliar tak boleh terjadi lagi. Inilah yang harus menjadi pembelajaran bagi Pemprov Sulsel untuk melakukan perencanaan matang setiap tahun, termasuk dalam hal jamuan makan.

”Aturan mengenai pos makan dan minum di masa datang juga harus diperketat karena rawan terjadi penyimpangan. Pertanggungjawabannya juga menjadi sulit mengingat barangnya sudah habis terpakai,” kata Darwis.

Sementara itu, Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hasan Bisri menyatakan, pada prinsipnya dalam penggunaan anggaran negara, siapa pun pejabat sebenarnya tak boleh memutuskan sesuatu yang terkait dengan penggunaan anggaran apabila alokasi dananya tidak cukup tersedia, apalagi jika tidak ada sama sekali.

"Jadi, pengguna anggaran harus melihat dulu alokasi dananya, ada atau tidak?" katanya.

Apabila kewajiban yang harus dibayar oleh pemprov di antaranya untuk tunggakan listrik, tambah Hasan memberi contoh, hal tersebut bisa dipahami. "Namun, apabila tunggakan tersebut untuk jamuan makan dan minum, hal itu patut dipertanyakan. Sebab, tidak wajar," ujar Hasan.

Ia mencontohkan lagi, apabila dalam laporan keuangan di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), terdapat kewajiban yang harus dibayar kepada distributor beras atau lauk-pauk karena untuk membiayai makan narapidana, BPK bisa menerima.

”Kita tahu, ruang tahanan di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM terbatas sehingga ruang tahanan sering dipaksa membuat kapasitasnya berlebih sehingga biaya makan para narapidana membengkak. Hal seperti ini bisa kami pahami,” tambah Hasan.

Demikian pula, apabila Kementerian Kesehatan terdapat tunggakan anggaran karena pembelian obat-obatan terkait dengan bencana alam, BPK bisa saja menilainya wajar.

”Tetapi, jika ada pos pengeluaran untuk jamuan makan dan minum hingga mencapai puluhan miliar rupiah seperti itu, apakah itu bisa diterima? Hal-hal itulah yang membuat pertanyaan para auditor,” kata Hasan. (ENG/HAR)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com