Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari 350.000 Kelahiran Hidup, Satu Bayi Kemungkinan Parasit

Kompas.com - 26/09/2013, 20:43 WIB
Kontributor Bandung, Putra Prima Perdana

Penulis


BANDUNG, KOMPAS.com — Dokter spesialis bedah anak Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, Dicky Drajat, mengatakan, rasio terjadinya kasus kelahiran bayi kembar parasit adalah satu berbanding 350.000 kelahiran hidup. Artinya, dari 350.000 bayi yang terlahir hidup, satu bayi kemungkinan akan terlahir dalam keadaan conjoint twin parasitic atau kembar parasit.

"Ini mungkin pertama kali di Indonesia karena jarang sekali," kata Dicky di Bandung, Kamis (26/9/2013).

Dicky menambahkan, kasus kembar siam parasit yang dialami oleh Ginan Septian Nugraha sebenarnya pernah juga ditangani oleh RSHS Bandung. Hanya saja, yang ditangani bukan bayi, melainkan anak berusia 9 tahun. Selain itu, bayi parasit yang keluar dari tubuh bagian bawah anak tersebut bentuknya jauh dari sempurna.

"Untuk penyebab pastinya hingga saat ini tidak diketahui secara pasti," kata Dicky.

Diberitakan sebelumnya, kasus kelahiran bayi kembar siam conjoined twin parasitic atau kembar parasit yang dialami oleh bayi bernama Ginan Septian Nugraha sepertinya menjadi salah satu sejarah untuk dunia kedokteran Indonesia. Untuk itu, bagian histopatologi Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung akan meneliti lebih lanjut struktur organ yang terdapat di dalam bayi parasit yang sudah terpisah dari bayi yang sehat.

"Setelah terlepas, kita akan identifikasi kembali jaringan lain di dalamnya (bayi parasit)," kata dokter spesialis bedah anak RSHS Bandung dr Dicky Drajat.

Dari hasil penelitian sementara, meski bayi parasit tersebut dapat dikatakan sebagai kembaran dari bayi Ginan yang terlahir sempurna, Dicky menyebutnya sebagai tumor dengan jenis epignathus teratoma.

Ia menjelaskan, epignathus teratoma adalah kembar parasit yang terlahir tidak sempurna, baik organ tubuh luar maupun dalam. Karena organ-organ dalam yang dimiliki oleh bayi parasit itu tidak utuh, maka tubuh yang mengalami deformitas (perubahan bentuk) mau tidak mau mengandalkan nutrisi-nutrisi dan juga hasil produksi organ-organ bayi yang sempurna atau bisa dikatakan sebagai inang.

Karena penyebutan "bayi parasit" banyak mendapat penolakan dari ahli medis, mereka lebih memilih menyebutnya sebagai tumor. Selain itu, karena tumor tersebut keluar ataupun berada di dalam mulut, maka tumor tersebut disebut epignathus.

"Teratoma itu berasal dari bakal sel yang nantinya akan menjadi rambut, tulang, usus, dan lain- lain. Pada benjolan tumor ini (bayi parasit) kami menemukan struktur jaringan normal seperti yang ada pada manusia seperti usus, dua testis, dan dua penis lengkap dengan stratum (kulit) menyerupai manusia. Selain itu juga ada tulang panggul dan dua anggota bagian bawah walaupun kelainan bentuk," bebernya.

Sementara jika dilihat dari luar, bayi tidak sempurna tersebut memiliki tiga kaki, dua di antaranya memiliki 8 jari dan 4 jari. Selain kaki, terdapat pula satu bagian menyerupai lengan yang memiliki 4 jari.

"Di bagian perut juga terdapat usus buntu karena tidak ada anus. Ujung usus justru menyambung dengan kandung kemih, jadi kalau dipijat bisa keluar dari penis," tuturnya.

Jika mengkuti teori kelahiran kembar, sambung Dicky, boleh jadi bayi Ginan ini sebenarnya adalah kembar tiga. Namun sayang, proses pembelahan saat di dalam kadungan tidak sempurna dan akhirnya menjadi parasit karena bergantung hidup pada inangnya. "Bisa juga sebenarnya adalah kembar tapi tidak sama," katanya.

---

Informasi penyaluran bantuan untuk Keluarga Ginan Septian Nugraha dapat menghubungi e-mail: redaksikcm@kompas.com

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com