Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengubur Jejak Kelam Westerling

Kompas.com - 12/09/2013, 21:35 WIB

KOMPAS.com - Kisah pasukan Depot Speciale Troepen yang dipimpin Kapten Raymond Pierre Paul Westerling dalam operasi penumpasan pemberontakan tidak akan dilupakan, terutama oleh warga di Sulawesi Selatan. Operasi yang digelar pada periode tahun 1946-1947 itu disebut sebagai peristiwa pembantaian warga dengan korban mencapai ribuan jiwa, tanpa angka pasti.

Sama halnya dengan kejadian serupa di Rawagede, Jawa Barat, operasi tersebut menjadi ganjalan sejarah hubungan diplomatik Indonesia dengan Belanda, bahkan hingga kini. Tuntutan ganti rugi pun baru menemui titik terang setelah Dewan Hakim Pengadilan Den Haag meluluskan tuntutan santunan bagi para janda Rawagede pada tahun 2011 dan diikuti dengan permintaan maaf atas kejahatan perang di Indonesia.

Setelah ganti rugi Rawagede, pada Kamis (12/9/2013) pagi ini Pemerintah Belanda meminta maaf atas pembantaian yang dipimpin Westerling dengan mengundang 10 janda korban peristiwa tersebut. Selain bertemu dengan para janda, santunan ganti rugi sebesar 20.000 euro atau setara Rp 300 juta akan diberikan untuk setiap orang. Permintaan maaf itu ditujukan kepada warga yang keluarganya terbunuh dalam insiden itu.

Komentar di media sosial umumnya mencibir apa yang dilakukan Pemerintah Belanda, menyesalkan permintaan maaf yang baru dilakukan setelah 67 tahun peristiwa itu berlalu. Kerabat korban yang tersisa umumnya janda yang kini rata-rata berusia 85 tahun.

Ada pula yang menghubungkan permintaan maaf Belanda sebagai hal yang patut dicontoh politisi Indonesia untuk mengakui kesalahan mereka di masa lalu. Salah satunya dilontarkan akun @gandrasta yang menyindir politisi Aburizal Bakrie yang namanya selalu terkait dengan lumpur Lapindo di Sidoarjo.

The Dutch sent their apology for Westerling massacre victims with compensations. Your move Aburizal Bakrie,” kicaunya.

Terkait permohonan maaf tersebut, sejarawan Bonnie Triyana melalui akun Twitter @BonnieTriyana berpendapat bahwa permohonan maaf tersebut tidaklah cukup sampai mereka mengakui bahwa kemerdekaan Indonesia adalah pada 17 Agustus 1945. Saat ini, kemerdekaan Indonesia versi Pemerintah Belanda adalah 27 Desember 1949, berbarengan dengan penyerahan kedaulatan dari Ratu Juliana kepada Bung Hatta sebagai perwakilan Republik Indonesia Serikat saat itu.

Tweet itu dikomentari penyair Saut Situmorang yang mengingatkan bahwa Pemerintah Belanda pernah menghadiri peringatan 50 tahun kemerdekaan RI. Bonnie mengingatkan, yang dilakukan adalah menerima fakta Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, tetapi pada waktu berbarengan tidak mengakuinya.

Waktu itu Pemerintah Belanda pake kata Aanvaarden (menerima) bukan Erkennen (mengakui). Beda, lho.” Demikian kicau Bonnie menjawab tweet Saut.

Permohonan maaf ini semoga bisa perlahan menyembuhkan luka sejarah antara Indonesia dan Belanda. Apabila masa lalu yang kelam berhasil ditutup, masa depan yang cerah sudah menanti. (Didit Putra Erlangga Rahardjo)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com