Untuk membuat tiwul juga tidak dilakukan sendiri, tetapi bergotong-royong, setidaknya untuk mengupas singkong. Misalnya, saat itu 15 perempuan membantu Mbah Kasiyem. Lain waktu, jika ada warga lain yang membutuhkan bantuan, mereka akan membantu warga tersebut.
Tiwul tak hanya dimakan saat kemarau, tetapi sepanjang tahun. Tiwul saja atau tiwul yang dimasak dicampur beras disantap dengan lauk ikan asin bakar, sambal bawang, sayur daun singkong, atau bayam hasil kebun sendiri. Menu itu menjadi santapan favorit warga karena kebanyakan bercerita dengan mimik wajah penuh selera membayangkan paduan makanan ini.
”Dengan ada tiwul, kami bisa menghemat pengeluaran sebab tidak perlu masak beras banyak. Tiwul bisa dicampur beras dengan perbandingan satu banding dua,” kata Marjinten (47), warga Kalisonggo yang merantau sebagai penjual bakso di Jakarta.
Tiwul adalah hasil kreasi masyarakat dalam mengolah singkong pada musim kemarau. Pangan menjadi isu penting, selain air bersih di daerah rawan kering. Kebiasaan makan tiwul di wilayah eks Keresidenan Surakarta bisa ditemui di desa-desa rawan kekeringan, seperti di Kabupaten Sukoharjo dan Wonogiri. Walaupun kemudian, sebagian warga meninggalkan kebiasaan itu ketika taraf hidup meningkat atau tiwul disantap saat kondisi ekonomi sudah benar-benar terdesak. Tiwul dimakan sebagai santapan klangenan (nostalgia) seperti di rumah makan di kota-kota.
Kepala Program Studi Agribisnis Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Solo Kusnandar menuturkan, kandungan karbohidrat tiwul sebenarnya tidak kalah dari beras sehingga bisa menggantikan beras sepenuhnya. Hanya perlu dilengkapi dengan lauk-pauk dan sayur lain yang bergizi, yang bisa bersumber dari pangan lokal. Sayangnya, tiwul dan aneka pangan lokal lain yang bisa menjadi alternatif pengganti beras, seperti sagu dan jagung, selama ini dipersepsikan salah sebagai pangan orang yang kekurangan.
”Beras punya kandungan lain selain karbohidrat, seperti vitamin B1. Namun, makan beragam jenis pangan, bukan hanya satu macam makanan lebih baik bagi tubuh kita. Misalnya, tidak selalu makan nasi, tetapi bisa diganti dengan singkong atau jagung,” kata Kusnandar.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan