Obrolan ringan mengiringi aktivitas 15 perempuan di teras sebuah rumah di Dusun Kalisonggo, Desa Karangmojo, Kecamatan Weru, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, pekan lalu. Sambil duduk berselonjor di atas tanah, tangan mereka sibuk mengupas kulit singkong. Beberapa anak kecil ikut di dekat ibunya.
Potongan singkong berwarna putih yang selesai dikupas terhampar dijemur di dekat mereka. Pada musim kemarau, pemandangan perempuan mengupas ubi kayu untuk dijadikan gaplek, dan selanjutnya tiwul, menjadi hal lazim di dusun ini.
Sepanjang musim ini dimanfaatkan untuk membuat tiwul sebagai persediaan berbulan-bulan, bahkan setahun. Pembuatan tiwul membutuhkan sinar matahari berlimpah. Singkong yang sudah dikupas, dijemur hingga kering menjadi gaplek. Setelah dicuci, lantas ditumbuk menjadi tepung dan disimpan. Tepung ini dikukus menjadi tiwul.
”Kebiasaan warga di sini saat kemarau adalah membuat tiwul yang bisa disimpan hingga setahun,” ujar Sumiarsih (22), warga Kalisonggo.
Semangat gotong-royong
Tiwul adalah ketahanan pangan dan semangat gotong-royong warga Kalisonggo. Tanah Kalisonggo yang tandus membuat warga tidak bisa menanam padi. Mereka harus membeli beras jika ingin makan nasi. Padahal, penghasilan mereka yang rata-rata hanya lulusan SMP tak seberapa. Kebanyakan mengandalkan lahan yang hanya dapat ditanami palawija, seperti jagung, kedelai, dan kacang tanah. Panen palawija paling banyak dua kali dalam setahun. Itu pun jika curah hujan cukup banyak.
Pada musim kemarau, mereka menanam singkong yang harga jualnya tak lebih dari
Rp 2.000 per kilogram. Sebagian besar singkong hasil panen dikonsumsi sendiri, setelah diolah menjadi tiwul. Jika tanah terlalu kering karena hujan tak kunjung turun, mereka tidak bisa menanam apa pun. Beternak pun tidak lagi bisa diharapkan. Hampir tidak ada lagi warga yang memelihara kambing atau sapi karena sulit mencari rumput segar dan air minum ternak.
Banyak warga dusun itu yang lalu merantau menjadi kuli angkut, penjual jamu gendong, pedagang bakso, dan lainnya sehingga hanya menyisakan orang tua dan anak kecil. Ada yang berhasil, tetapi tak sedikit yang hanya bisa menyambung hidup. Namun, perantau ini akan langsung pulang jika mendengar tetangga mereka di kampung sakit atau menyelenggarakan hajatan. Ikatan antarwarga masih erat.
”Semua perantau pasti pulang meski saat itu kami hanya punya uang untuk ongkos perjalanan,” kata Yatmi (44), warga Kalisonggo yang menjadi kuli gendong di Pasar Giwangan, Yogyakarta.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan