Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemerintah Pakai Suku "Gorontalo" Bukan "Polahi"

Kompas.com - 03/09/2013, 15:15 WIB
Kontributor Gorontalo, Muzzammil D. Massa

Penulis


GORONTALO, KOMPAS.com — Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (PKAT) tidak menggunakan istilah "Suku Polahi" pada surat-surat resmi, seperti dikatakan Kepala Seksi PKAT Supardi Walango kepada Kompas.com, Selasa (3/9/2013).

“Kami tetap menyebut mereka sebagai Suku Gorontalo, karena secara etnografis mereka adalah orang Gorontalo juga. Hanya saja cara hidup mereka berbeda dari cara hidup orang Gorontalo kebanyakan,” terang Supardi Walango.

Supardi menuturkan, bahasa yang digunakan orang Polahi sebenarnya adalah bahasa Gorontalo asli. Bahasa tersebut terdengar berbeda, karena bahasa yang digunakan orang Gorontalo di luar Polahi merupakan bahasa Gorontalo yang tak murni lagi.

“Bahasa yang kita gunakan sehari-hari ini kan sudah mengalami percampuran dengan bahasa Manado, Melayu, Belanda dan Indonesia. Sementara Polahi menggunakan bahasa Gorontalo kuno,” kata Supardi.

Perbedaan bahasa inilah yang kemudian menjadi salah satu kendala bagi PKAT membujuk sebagian masyarakat Polahi di lereng Gunung Boliyohuto untuk turun dan berbaur dengan masyarakat Gorontalo kebanyakan.

Salah seorang staf PKAT, Djoni Abdullah bercerita, setiap kali mengunjungi masyarakat Polahi di pedalaman hutan, dia harus membawa penerjemah untuk berkomunikasi dengan masyarakat tersebut.

“Kadang terjadi kesalahpahaman antara kami. Tapi intinya, mereka berat hati untuk turun karena khawatir dibebani pajak dan sulit berbaur,” kata Djoni.

Djoni menyebut, sampai saat ini masih terdapat delapan kepala keluarga Polahi yang hidup berpindah-pindah di lereng Gunung Boliyohuto, Kabupaten Gorontalo.

Supardi menjelaskan, sebelum Gorontalo berdiri sebagai provinsi sendiri, persoalan masyarakat adat terpencil sudah menjadi masalah klasik bagi pemerintah setempat.

Sebelum 2001, saat Gorontalo masih menjadi bagian provinsi Sulawesi Utara, pemberdayaan komunitas adat terpencil ditangani satu seksi di bawah Dinas Sosial (Dinsos) Sulawesi Utara yang ketika itu masih bernama seksi Pemberdayaan Komunitas Masyarakat Terasing (PKMT).

Sejak tahun 2003, nama PKMT berubah menjadi Pemberdayaan Komintas Adat Terpencil (PKAT). “Penggunaan kata terasing kita ganti karena kata tersebut terkesan merendahkan,” jelas Supardi Walango.

Instansi yang sudah bekerja selama 10 tahun tersebut menetapkan Suku Bajo yang hidup di pesisir dan Suku Polahi yang hidup di lereng-lereng gunung sebagai masyarakat sasaran pemberdayaan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com