"Selamat datang di Museum Batik Pekalongan," kata Eka Fitria, seorang perempuan muda menyambut Kompas.com yang masuk gedung tersebut akhir Juli lalu.
Hanya dengan tiket masuk sebesar Rp 5.000, pengunjung bisa menikmati museum yang memiliki koleksi lebih dari 1.000 batik dari seluruh Nusantara dan mancanegara itu. Eka, dan pemandu-pemandu lainnya, ramah siap menjelaskan apa saja yang ingin diketahui pengunjung tentang museum itu.
Eka menjelaskan, bangunan museum dibangun oleh VOC pada tahun 1906 sebagai kantor keuangan sekaligus tempat penyimpan uang pabrik gula. Setelah Belanda terusir dari Indonesia, bangunan seluas 3.675 meter persegi itu beralih fungsi.
"Tahun 2006 sampai sekarang bangunan ini pun resmi digunakan sebagai museum batik," ujar Eka, yang sudah tiga tahun menjadi pemandu di museum tersebut.
Dikatakan Eka, tak ada konstruksi atau arsitektur gedung yang berubah. Pengelola hanya menambah sebuah ruang seluas 5x3 meter untuk bengkel kerja pembatik atau pengunjung yang belajar.
Sebuah bunker yang dulunya digunakan untuk tempat penyimpanan uang, kini tetap dipakai sebagai tempat penyimpanan koleksi batik tua. Batik SBY sampai Batik Papua ditampilkan di tiga ruang pamer di museum tersebut.
Ruang pamer pertama, berisi koleksi batik khas Pekalongan dan Cirebon. Ruang kedua, khusus batik Nusantara, yakni mulai dari Bengkulu, Kalimantan hingga Papua. Sedangkan ruang pamer yang ketiga, khusus menampilkan batik Yogyakarta dan Surakarta.
Ada batik karya pelukis atau pembatik yang dihibahkan ke museum. Dan ada juga batik yang merupakan pemberian dari pejabat tinggi, seperti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Wakil Presiden Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Radjasa, dan lain-lain.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan