Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Buah Simalakama Dieng Bernama Kentang

Kompas.com - 07/06/2013, 19:58 WIB
Ervan Hardoko

Penulis

BANJARNEGARA, KOMPAS.com — Di ruang kerjanya yang cukup luas, Wakil Bupati Banjarnegara Hadi Supeno beberapa hari lalu menerima sejumlah wartawan—termasuk Kompas.com—dan beberapa orang perwakilan dari Program Pembangunan PBB (UNDP).

Beberapa hal menjadi topik pembicaraan kami, salah satunya adalah masifnya penanaman kentang di dataran tinggi Dieng.

Hadi Supeno menceritakan, kentang yang kini identik dengan Dieng sebenarnya adalah tanaman "impor" dari luar daerah. Sebelum kedatangan kentang, penduduk Dieng adalah penanam jagung dan tembakau.

"Asal mulanya ketika para petani kentang di Jawa Barat kehilangan tanaman mereka saat Gunung Galunggung meletus sekitar tahun 1980-an," kata Wakil Bupati Hadi Supeno.

"Lalu mereka mencari lahan yang cocok untuk kembali bertanam kentang dan sampailah mereka di Dieng dan menanam kentang di sana. Itulah asal usul kedatangan kentang di Dieng," papar Hadi.

Benar saja, durasi penanaman yang jauh lebih singkat dan nilai ekonomis yang dihasilkan kentang membuat para petani Dieng tergiur, dan perlahan tapi pasti meninggalkan tanaman tradisional mereka, tembakau dan jagung.

"Tembakau membutuhkan waktu enam bulan untuk panen dengan modal sekitar Rp 17 juta dan saat panen kami memperoleh sekitar Rp 50 juta," kata Suryanto (58), seorang petani asal Desa Pegundungan, Kecamatan Pejawaran, Kabupaten Banjarnegara.

"Tapi kentang bisa dipanen hanya dalam waktu tiga atau empat bulan. Modalnya lebih kurang sama (dengan tembakau). Namun, untuk satu hektar, pendapatan kami saat panen bisa Rp 50 juta-Rp 60 juta," kenang Suryanto.

Dengan pendapatan yang menggiurkan itu, tak heran jika para petani Dieng kemudian banting setir menjadi penggarap kentang. Pegunungan Dieng sendiri masuk ke wilayah enam kabupaten, yaitu Banjarnegara, Wonosobo, Pemalang, Tegal, Batang, dan Pekalongan.

Luas keseluruhan kawasan Dieng mencapai 55.000 hektar, dan sekitar 20.000 hektar berada di wilayah Kabupaten Banjarnegara, yang sekitar 70 persennya sudah ditanami kentang. Pada awalnya pun kentang memang memberikan kemakmuran bagi penanamnya.

"Dari kentang kami bisa membeli sepeda motor, mobil, bahkan naik haji," kata Hadri Susanto (55), salah seorang petani lain di Desa Pegundungan, menceritakan betapa menggiurkannya menanam kentang.

Menghancurkan Dieng

Namun, yang tidak disadari para petani adalah kentang ternyata tanaman "jahat" yang bisa merusak kondisi lahan di dataran tinggi Dieng. Sifat kentang yang tidak bisa hidup di bawah tanaman lain membuat petani rela menebang pepohonan lain demi membuka lahan kentang.

"Dengan dibabatnya tanaman keras di pegunungan Dieng, maka tak ada lagi pohon berakar kuat yang bisa menahan air hujan. Oleh karenanya, saat hujan datang, sedikit demi sedikit lapisan subur tanah terbawa hujan yang berujung pada kritisnya kondisi lahan," kata Darusman, salah seorang pendamping lapangan proyek Penguatan Komunitas Berbasis Hutan dan Manajemen Aliran Sungai (SCBFWM) yang didukung UNDP.

Dampak jangka panjangnya adalah kualitas lahan pertanian Dieng kian hari kian menurun. Akibatnya, pendapatan petani kentang juga kian hari kian menurun. Kentang yang dahulu memberikan keuntungan berlipat ganda tak jarang kini justru memberikan kerugian bagi petani.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com