Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

1,4 Juta Tenaga Kerja

Kompas.com - 07/06/2013, 07:50 WIB

KOMPAS.com - Judul di atas bukan iklan, juga bukan propaganda. Namun, itu merupakan janji pemerintah pada tahun 2009. Sekadar mengingatkan, pada tahun 2008, harga bahan bakar minyak bersubsidi sudah di level Rp 6.000 per liter. Setelah melalui tanjakan inflasi beberapa bulan, pasar saat itu sudah menerimanya sebagai keseimbangan.

Namun, pada akhir tahun 2008 dan awal tahun 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menurunkan harga BBM bersubsidi tiga kali sampai Rp 4.500 per liter. Baik tampaknya. Tapi di situlah awal bom waktu itu dinyalakan.

Harga BBM bersubsidi bisa berfluktuasi, tetapi kecenderungannya pasti naik dari tahun ke tahun. Rumusnya sederhana, BBM adalah bahan bakar tak terbarukan dan semakin langka ketersediaannya. Jadi, harganya pasti naik.

Akibat harga BBM yang turun itu, subsidi terus menggelembung. Tahun 2008, subsidi BBM baru Rp 139 triliun. Tahun 2012 mencapai Rp 211,89 triliun atau naik 52,32 persen.

Bom waktu yang mulai hitung mundur per tahun 2009 sudah mendekati angka nol alias siap meledak tahun ini. Subsidi BBM tahun 2013 bisa bengkak dari pagu Rp 193 triliun menjadi Rp 297,7 triliun. Akibatnya, defisit anggaran yang awalnya dipatok 1,65 persen terhadap produk domestik bruto bisa melebar sampai 3,83 persen.

Ini jelas melanggar aturan karena undang-undang mewajibkan defisit maksimal 3 persen demi alasan kesehatan fiskal. Maka pemerintah pun mengais kebijakan yang telah dilakukan lima tahun silam, yakni menaikkan harga BBM bersubsidi.

Kenaikan harga BBM bersubsidi, mengacu Bank Indonesia, akan menimbulkan inflasi 2,46 persen. Jadinya total inflasi bisa mencapai 8 persen. BI meyakinkan, bauran kebijakan moneter yang diambilnya dapat menurunkan inflasi menjadi 7,76 persen. Sementara pemerintah optimistis bisa menurunkan lagi inflasi ke 7,2 persen karena menjamin pasokan bahan pangan di pasar dan mengendalikan kenaikan tarif angkutan.

Tapi bagaimanapun, inflasi tetap tinggi. Dan esensinya, rakyat miskin dan rentan miskin menjadi korban. Tanjakan inflasi, minimal tiga bulan pertama sejak kenaikan harga BBM bersubsidi diberlakukan, pasti menggerus daya beli kelompok ini. Dari sisi statistik, minimal 4 juta orang akan termiskinkan.

Dalam konteks inilah kesepakatan antara pemerintah dan DPR tentang asumsi pertumbuhan ekonomi 6,3 persen tahun ini seharusnya memberikan makna. Ini penting disamping antisipasi pemerintah dengan menggelontorkan paket program kompensasi yang diangarkan minimal Rp 30,1 triliun untuk target lebih dari 15 juta rumah tangga miskin.

Untuk setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi, pemerintah menargetkan penciptaan lapangan kerja yang menyerap 220.000 orang. Dengan demikian, target penyerapan tenaga kerja tahun ini adalah 1.386.000 orang.

Sementara tambahan anggaran untuk program infrastruktur dasar senilai Rp 6 triliun disebutkan akan menyerap 38.500 orang selama 10 bulan dengan masa kerja 25 hari per bulan. Dengan demikian, total tenaga kerja yang semestinya terserap oleh pertumbuhan ekonomi tahun ini minimal 1.424.500 orang.

Pekerjaan. Inilah janji pemerintah. Inilah instrumen paling mujarab untuk melindungi rakyat miskin. Dan inilah kewajiban pemerintah saat nanti menaikkan harga BBM bersubsidi.

Pemerintah boleh membuat narasi bahwa kenaikan harga BBM bersubsidi demi keadilan dan kesehatan fiskal. Dari konteks rasionalitas ekonomi tahun 2013, argumentasi ini sahih.

Namun, kalau ditarik ke tahun 2009 saat pemerintah menurunkan harga BBM bersubsidi, kenaikan harga tahun ini sebenarnya sama dengan meminta rakyat kembali menelan pil pahit yang sama. Rakyat dan ekonomi secara umum harus menerima pukulan dua kali atas satu kebijakan yang sama.

Bayangkan kalau sejak tahun 2008 harga BBM tetap Rp 6.000 per liter, maka akan ada tambahan puluhan triliun rupiah selama empat tahun ini untuk membangun jalan, sekolah, rumah sakit, kereta api, jembatan, dan waduk.

Harga BBM bersubsidi memang harus dinaikkan ke harga yang lebih pas. Dan pada akhirnya, rakyatlah yang harus menelan pil pahit ini untuk kedua kalinya. Maka janji 1,4 juta tenaga kerja itu harus ditepati. (FX Laksana Agung Saputra)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com