KOMPAS.com - Ogoh-ogoh setinggi 2,5 meter berdiri di atas tanggul lumpur Lapindo, Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, Rabu (29/5/2013). Sosok manusia yang digambarkan melalui ogoh-ogoh itu memakai jas warna kuning dan berkacamata. Ia berkacak pinggang dan mendongakkan kepala seolah sangat berkuasa dan begitu sulit tersentuh.
Lalu, dengan diiringi lagu ”Bagimu Negeri”, enam orang mengangkat ogoh-ogoh itu dan membawanya masuk ke kolam lumpur. Tidak lama, banyak orang melempari ogoh-ogoh itu dengan lumpur sambil bersorak. Wajah ogoh-ogoh pun tertutupi lumpur. Jas kuningnya berubah jadi coklat.
Prosesi perarakan ogoh-ogoh itulah yang dipakai sebagai puncak peringatan tujuh tahun lumpur Lapindo. Sebuah prosesi yang diadaptasi dari tradisi Hindu untuk melebur segala sifat negatif agar tidak mengganggu kehidupan manusia. Biasanya ogoh-ogoh berbentuk raksasa yang menyeramkan.
Koordinator peringatan tujuh tahun lumpur Lapindo sekaligus korban lumpur, Abdul Rokhim, menegaskan, mereka sengaja membuat ogoh-ogoh yang menyimbolkan sosok pemilik PT Lapindo Brantas. ”Dia seharusnya yang bertanggung jawab atas semburan lumpur ini. Tapi selama tujuh tahun ini ia seperti tidak terganggu. Namun, kami akan terus menggugat, suara kami tak pernah padam,” katanya.
Sejak lumpur Lapindo mulai menyembur pada 29 Mei 2006 sampai sekarang, kondisi para korban lumpur tidak kunjung membaik, terutama para korban di area terdampak yang tercatat ada 11.881 keluarga. Sebagian besar dari mereka terus terkatung-katung menunggu janji pelunasan ganti rugi. Banyak yang mencari pekerjaan serabutan dan banyak pula yang mengalami depresi.
Sudaryanto (49) merupakan salah seorang korban lumpur di area terdampak. Dulu, ia adalah seorang pedagang burung yang mampu menghasilkan minimal Rp 100.000 per hari. Kini, setelah rumahnya terendam lumpur, ia mencari uang dengan mengojek sepeda motor di kawasan tanggul.
Sesekali ia juga menawarkan video dokumentasi lumpur Lapindo yang ia simpan di dalam tas pinggangnya. Soal tarif, ia bergantung pada kedermawanan orang yang membeli jasanya. Dalam sehari, ia rata-rata memperoleh uang Rp 15.000. Paling banyak Rp 50.000 per hari, itu pun sangat jarang.
Sudaryanto masih memiliki dua anak yang duduk di bangku SD dan SMP. ”Jangankan sampai ke perguruan tinggi. Untuk bisa menyekolahkan anak sampai SMA saja saya tidak bisa membayangkan,” katanya.
Berusaha sendiri
Menurut Sudaryanto, sampai saat ini para korban lumpur tak pernah ditawari lapangan kerja oleh pemerintah. Mereka harus berusaha sendiri dengan mengubah tanggul lumpur sebagai kawasan ”wisata”.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanDapatkan informasi dan insight pilihan redaksi Kompas.com
Daftarkan EmailPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.