Jakarta, Kompas
Direktur Eksekutif Indonesia Global Justice (IGJ) Riza Damanik, saat dihubungi dari Jakarta, Sabtu (25/5), mengemukakan, bahan bakar minyak (BBM) merupakan kebutuhan utama nelayan untuk berproduksi, yakni 60 persen dari biaya operasional melaut. Akan tetapi, penyediaan sarana pemasok BBM, berupa sarana pengisian bahan bakar nelayan (SPBN) ataupun kios penyediaan solar nelayan (solar packed dealer nelayan/SPDN) terus menurun.
Tahun 2012, dari target pembangunan SPDN sebanyak 53 unit di sentra-sentra nelayan, yang bisa beroperasi hanya 5 unit. Kegagalan penyediaan SPDN membuat nelayan kian kehilangan akses melaut dan terbebani ongkos semakin tinggi karena harus membeli BBM eceran dengan harga lebih mahal. Hal itu juga mengindikasikan penyelewengan BBM bersubsidi untuk nelayan.
”Kinerja realisasi SPDN yang buruk menunjukkan minimnya keberpihakan negara terhadap nelayan,” ujar Riza.
Di sejumlah sentra perikanan, nelayan kerap bergantung pada BBM eceran yang harganya jauh lebih mahal akibat SPDN tidak tersedia dan sulit terjangkau. Kalaupun ada, pasokan BBM nelayan lebih banyak dinikmati kapal-kapal besar berkapasitas di atas 30 gros ton (GT).
Presidium Serikat Nelayan Indonesia (SNI) Cirebon Budi Laksana mengungkapkan, SPDN yang sudah dibangun kerap tidak beroperasi maksimal untuk memasok BBM subsidi. Akibatnya, nelayan harus bergantung pada pengepul untuk membeli solar.
Di SPDN Gebang, Cirebon, pasokan BBM tidak setiap hari tersedia. SPDN bahkan kerap tutup. Padahal, nelayan di Gebang didominasi oleh nelayan kecil dengan kapasitas 5-10 GT yang melaut harian atau paling lama seminggu. Nelayan terpaksa membeli BBM eceran dari pengepul dengan harga lebih mahal. Saat ini, harga BBM eceran mencapai Rp 5.500-Rp 6.000 per liter.
”SPDN tidak efektif menyediakan kebutuhan BBM subsidi. Akibatnya, ketergantungan nelayan kepada pengepul tidak hanya sebatas jual-beli ikan, tetapi sejak dari penyediaan alat produksi,” ujarnya.
Di sisi lain, tidak seluruh kios ataupun stasiun pengisian bahan bakar nelayan di pangkalan pendaratan ikan memiliki data akurat terkait jumlah nelayan. Akibatnya, pencatatan penyaluran BBM bersubsidi rentan disalahgunakan.