Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kemiskinan Jadi Pekerjaan Rumah Terberat

Kompas.com - 22/05/2013, 03:02 WIB

Fenomena Tasripin, bocah 12 tahun, di pelosok Kabupaten Banyumas yang terpaksa menjadi buruh tani untuk menanggung beban keluarganya mempertebal noktah merah problem mikro kemiskinan Jawa Tengah. Angka kemiskinan 15,34 persen yang lebih tinggi daripada rata-rata nasional 12,27 persen kian membuka mata soal perhatian terhadap masalah itu.

Tidak heran jika upaya menurunkan angka kemiskinan menjadi salah satu isu kampanye yang diteriakkan semua pasangan calon yang akan bertarung dalam Pemilu Kepala Daerah Jawa Tengah, 26 Mei. Seperti di provinsi lain, kemiskinan merupakan problem yang hingga kini belum selesai di Jateng yang berpenduduk 38,5 juta jiwa.

Dalam beberapa tahun terakhir, angka kemiskinan memang menurun, dari 17,72 persen (6 juta jiwa) tahun 2009 menjadi 14,98 persen (4,86 juta jiwa) pada 2012 dari jumlah penduduk saat itu 32,3 juta jiwa.

Namun, kemiskinan di kawasan pinggiran, pedesaan, termasuk pesisir, tetap harus mendapat perhatian serius dari pemerintah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Jateng tahun 2012, dari sekitar 4,97 juta jiwa penduduk miskin, sekitar 2,97 juta jiwa di antaranya tinggal di wilayah desa.

Ironis memang. Keberhasilan Jateng yang pada 2012 mampu mencapai surplus beras 2,8 juta ton dan menjadi penyangga utama pangan nasional ternyata tidak serta-merta berdampak pada kesejahteraan petani. Bahkan, luas lahan pertanian dari tahun ke tahun pun kian menyempit akibat alih fungsi lahan. Dinas Pertanian Jateng mencatat laju penyusutan lahan produktif berkisar 350-400 hektar per tahun.

Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Cilacap Sudarno mengatakan, petani bisa memperoleh pendapatan yang layak jika memiliki lahan setidaknya sekitar 2 hektar. Namun, di Jateng wilayah selatan kepemilikan lahan petani hanya berkisar 0,1-0,2 hektar. ”Alih fungsi lahan kian tak terkendali, petani menjadi terdesak dari wilayahnya. Ada yang menjadi buruh tani ke tetangganya, ada yang menyerah dan merantau ke kota,” ujarnya.

Fenomena seperti ayah Tasripin, Kuswito (42), yang terpaksa merantau ke Kalimantan dan meninggalkan empat anaknya karena tidak lagi punya akses terhadap lahan pertanian banyak dijumpai di wilayah pedesaan Jateng.

Di Kabupaten Wonogiri, kondisi yang memprihatinkan juga dialami Joikromo (75), petani Desa Tempel, Kecamatan Wuryantoro. Di usianya yang sudah lanjut, dia belum punya lahan. Dia harus menyewa ladang dari tetangganya. Hasil panen digunakan untuk memenuhi konsumsi sehari-sehari dan sisanya dijual.

Beban petani seperti Joikromo kian berat. Di tengah tingginya harga benih unggul dan sarana produksi pertanian seperti pupuk dan obat-obatan, mereka harus bergulat dengan kondisi cuaca yang makin ekstrem. Gagap menghadapi perubahan iklim, lahan pertanian di beberapa wilayah jadi langganan banjir dan puso akibat serangan hama.

Setali tiga uang dengan petani, nasib nelayan juga tak pernah jauh dari jerat kemiskinan. Dari sekitar 170.000 nelayan di Jateng, sekitar 85 persen masih dikategorikan miskin. Mereka juga kebanyakan nelayan tradisional dengan alat tangkap konvensional. Jateng memiliki masyarakat nelayan di sepanjang pantai utara Jawa, mulai dari Rembang hingga Brebes, termasuk di wilayah pesisir selatan, seperti Cilacap hingga Purworejo.

Di Kabupaten Brebes, Kabupaten Tegal, dan Kota Tegal, yang menjadi basis nelayan, jumlah buruh nelayan menempati porsi terbesar dari jumlah nelayan secara keseluruhan. Hidup mereka bergantung pada laut. Jika paceklik, mereka hanya mengandalkan bantuan beras atau bahan pangan lain. ”Selama ini, polesan-polesan dari pemerintah hanya untuk pemilik kapal. Anak buah kapal atau buruh nelayan justru tidak tersentuh,” ujar Ketua Kelompok Nelayan Karya Mina Kabupaten Tegal Warnadi.

Untuk membantu nelayan, pemerintah memang menggulirkan bantuan 100 kapal ikan yang berbobot mati 30 ton sejak 2010. Namun, mereka mengabaikan persoalan lokal di tiap- tiap daerah yang berbeda. Di Cilacap dan Kebumen, kapal bantuan berbulan-bulan mangkrak karena spesifikasi kapal tidak sesuai untuk mengarungi ganasnya laut selatan. Di Jepara, bantuan mubazir karena nelayan setempat terbiasa melaut di perairan dangkal.

Kemiskinan struktural

Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, Andreas Lako mengatakan, persoalan kemiskinan di Jateng dapat digambarkan sebagai kemiskinan struktural. Artinya, kondisi ini dipengaruhi kebijakan pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan pendapatan.

Angka pertumbuhan ekonomi Jateng terus meningkat. Bahkan, pertumbuhan ekonomi tahun 2012 yang sebesar 6,34 persen merupakan angka tertinggi sepanjang sejarah. Namun, pertumbuhan ekonomi ini cenderung tidak berkualitas karena diikuti kesenjangan ekonomi. Ini ditandai angka rasio gini (indeks yang mengukur tingkat kesenjangan ekonomi) yang meningkat dari tahun 2008 sebesar 0,31 menjadi 0,4 pada 2013.

Ironisnya lagi, saat problem kemiskinan belum terpecahkan, korupsi para kepala daerah kian merebak. Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KP2KKN) Jateng mencatat hampir separuh dari 35 kepala daerah terlibat dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pada 2008-2013. Selama periode itu, 14 kepala daerah menjadi tersangka dan terpidana kasus dugaan korupsi dengan total kerugian negara Rp 63,24 miliar.

Kepala Divisi Monitoring Aparat Penegak Hukum KP2KKN Jateng Eko Haryanto mengatakan, dari ke-14 kepala daerah tersebut, tiga di antaranya berstatus sebagai tersangka dan 11 lainnya sebagai terpidana. Mereka umumnya menggunakan uang daerah untuk kepentingan pribadi.

Sungguh memprihatinkan karena dana itu semestinya bisa dimanfaatkan untuk pengentasan warga dari kemiskinan, pendidikan dan kesehatan masyarakat kecil, dan pembangunan daerah tertinggal. (GRE/UTI/RWN/WIE/EKI/HEN)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com