Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menguji Buah Demokrasi Pulau Dewata

Kompas.com - 14/05/2013, 03:42 WIB

Bestian Nainggolan dan Yuliana Rini DY

Pemilihan gubernur Bali kali ini tidak hanya menyangkut ketatnya persaingan antarkandidat. Tidak pula sekadar ajang pengujian loyalitas pemilih berbasis partai politik, kepentingan sosial, ekonomi, dan budaya, yang terwakilkan dari setiap kandidat. Pilkada sekaligus menguji ketangguhan relasi demokratisasi dan kesejahteraan rakyat di negeri ini.

Bakal ketatnya persaingan antarpasangan kandidat dalam pemilihan gubernur Bali sudah terduga semenjak kemunculan resmi kedua pasangan kandidat tersebut. Pasangan Made Mangku Pastika-Ketut Sudikerta akan berhadapan dengan pesaingnya, Puspayoga-Sukrawan.

Terdapat berbagai hal menarik dalam pilkada kali ini. Pastika yang dikenal sebagai gubernur petahana, misalnya, kali ini akan berhadapan dengan wakilnya sendiri, Puspayoga. Sekalipun sama-sama putra daerah, keduanya berlatar belakang dan identitas sosial yang berbeda.

Demikian pula jika pada pilkada 2008, keduanya atas dukungan PDI-P mampu meraup hingga 55 persen suara pemilih, kali ini dukungan PDI-P tertuju kepada Puspayoga. Sebaliknya, Pastika mendapat dukungan antara lain oleh Partai Demokrat, Golkar, dan Gerindra. Pada pilkada kali ini, para pemilih di Bali akan diuji seberapa jauh kekuatan sosok—dengan latar belakang ataupun kualitas personanya—menjadi faktor penentu pilihan ketimbang latar belakang dukungan partai politik setiap kandidat.

Bagi partai politik, khususnya PDI-P, pilkada kali ini tentu menjadi ajang pertaruhan terbesar terhadap loyalitas pemilih mereka. Setelah kegagalan para kadernya memenangi Pilkada Jawa Barat dan Sumatera Utara, maka Bali layaknya pertarungan hidup-mati PDI-P. Betapa tidak, sepanjang sejarah penyelenggaraan pemilu di provinsi ini, 1999-2009, ataupun dalam berbagai ajang pilkada, Bali adalah jantung bagi PDI-P. Meski di sejumlah wilayah popularitas partai ini menurun, di Bali PDI-P tetap pemenang. Pada Pemilu 1999, misalnya, tidak kurang dari 79 persen suara dikuasai PDI-P. Pemilu berikutnya, 2004 dan 2009, dominasi PDI-P memang menurun. Pemilu 2004 meraih 52,5 persen suara dan tinggal 40 persen pada Pemilu 2009 akibat menguatnya Golkar dan Demokrat di kabupaten Karangasem dan Jembrana. Namun, sebagian besar kabupaten/kota, seperti Buleleng, Bangli, Klungkung, Gianyar, Badung, Tabanan, ataupun Kota Denpasar masih menjadi benteng kekuatan PDI-P.

Di balik hangatnya persaingan antarkedua sosok kandidat ataupun medan pertaruhan loyalitas pemilih partai politik, ajang pilkada gubernur Bali sebenarnya menjadi model dari suatu kontestasi politik di negeri ini. Khususnya suatu daerah yang terkategorikan sebagai wilayah yang relatif tinggi derajat kesejahteraan ataupun praktik demokrasinya.

Posisi atas

Pengukuran terhadap kualitas suatu provinsi, baik praktik kehidupan berdemokrasi yang berlangsung dan tautannya terhadap kondisi kesejahteraan masyarakat di Bali sejauh ini tampak menawan. Hasil pengukuran Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) 2010 yang dipublikasikan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional bersama Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) tahun 2012, misalnya, menempatkan Bali di posisi ke-5 dari 33 provinsi di seluruh Indonesia.

Tiga aspek yang menjadi indikator pengukuran, yaitu kebebasan sipil, pemenuhan hak politik, dan kualitas kelembagaan demokrasinya, skor Provinsi Bali sebesar 72,44. Skor itu di atas rata-rata skor nasional sebesar 63,17. Posisi Bali dapat disejajarkan dengan skor papan atas IDI lainnya, yaitu DKI Jakarta (77,44) dan DIY (72,33). Di antara kedua provinsi tetangganya, yaitu NTB (58,13) dan Jawa Timur (55,12), dalam kualitas demokrasinya, Bali dinilai jauh lebih tinggi.

Di sisi lain, aspek kesejahteraan masyarakat Bali juga tergolong di atas rata-rata nasional. Indeks Kesejahteraan Daerah (IKD) 2011 yang disusun Litbang Kompas menempatkan Bali pada posisi ke-4 dari 33 provinsi yang dikaji. Dalam IKD, terdapat empat aspek yang menjadi dasar pengukuran kesejahteraan, yaitu kualitas kesehatan, pendidikan, infrastruktur dasar, ataupun aspek perekonomian. Hampir semua aspek yang dikaji menunjukkan posisi Bali di atas rata-rata nasional. Skor total IKD Bali sebesar 276, jauh di atas rata-rata skor nasional, 256. Apabila dibandingkan dengan skor IKD tahun 2007, Bali juga berada pada posisi ke-4 dari 33 provinsi di Indonesia.

Jika dikaitkan antara besaran Indeks Demokrasi dan Indeks Kesejahteraan Bali, tampak benar posisi provinsi ini secara nasional di atas rata-rata. Bali masuk dalam kategori wilayah di mana demokrasi dan kesejahteraan sama-sama di atas rata-rata nasional (Grafik 1). Dengan kondisi demikian, sepintas lalu dapat dikatakan bahwa Bali adalah model dari keberhasilan peningkatan kesejahteraan ataupun kualitas demokrasi di negeri ini. Demokrasi dan kesejahteraan berjalan simultan yang bisa jadi saling memperkuat satu dengan lainnya.

Bila bersandar pada kedua indeks, baik indeks kualitas demokrasi maupun kesejahteraan, tidak serta-merta menggambarkan realitas yang berkesinambungan. Justru kedua aspek, baik demokrasi maupun kesejahteraan, tengah menghadapi ancaman serius.

Kesenjangan melebar

Dari sisi kesejahteraan, misalnya, di tengah gemerlapnya pesona industri pariwisata Bali dan semakin melesatnya nilai ekonomi yang disumbangkan industri ini, justru semakin lebar jurang kesenjangan kesejahteraan masyarakat setempat.

Parahnya, kesenjangan tak hanya terjadi pada tingkat masyarakat saja, tetapi juga antarwilayah kabupaten/kota. Yang paling menonjol terlihat adanya perbedaan pembangunan antara wilayah Bali Selatan dan wilayah Utara dan Timur.

Begitu juga dalam pengembangan kualitas demokrasinya. Bali, dengan penduduk 3,89 juta jiwa (Sensus 2010) yang dikenal secara sosial, baik suku maupun agama yang dianut, tampak homogen, tengah berkontraksi terhadap berbagai perubahan sosial yang dialaminya.

Semakin derasnya arus modal dan pendatang sedikit banyak turut memengaruhi keseimbangan sosial yang sudah terbentuk sebelumnya. Tidak hanya terkait dengan intervensi eksternal saja, berbagai kajian menunjukkan, di kalangan internal masyarakat Bali sendiri selama ini tengah berlangsung pula pergeseran struktur dan kultur masyarakat yang cenderung memudarkan nilai kultural Bali.

Dalam keterdesakan kondisi seperti itu, reaksi pembalikan situasi pun mulai gencar tersuarakan. Malah, berbagai upaya pemurnian tradisi mulai menggejala, yang dalam beberapa persoalan potensial memancing reaksi ketegangan sosial baru.

Realitas arus perubahan semacam ini, jika tidak sikapi secara matang menjadi ancaman baru bagi kelestarian kualitas demokrasi yang selama ini berada di atas sebagian besar provinsi lain di Indonesia.

Dalam kondisi semacam inilah pilkada 15 Mei mendatang, berikut pemimpin Bali yang terpilih harus menjamin manisnya buah demokrasi di Bali.(Litbang Kompas)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com