Jayapura, Kompas
Warga yang tewas dilaporkan terkena tembakan. Menurut Kepala Bidang Humas Polda Papua Komisaris Besar I Gde S Jaya, Selasa, di Jayapura, dokter yang merawat Salomina menyerahkan proyektil peluru yang ada di tubuh korban.
Menurut Gde S Jaya, proyektil peluru itu diduga bukan berasal dari senjata organik yang dipakai polisi atau TNI. ”Kalibernya berbeda,” ujarnya.
Polisi pun terus menyelidiki asal proyektil itu. Dalam olah tempat kejadian, Sabtu lalu, polisi menemukan sepucuk pistol rakitan, ratusan amunisi dari berbagai jenis dan kaliber, satu lembar bendera Bintang Kejora, ratusan panah dan parang, serta pakaian bermotif loreng. Terkait kasus itu, polisi pun menetapkan enam warga Aimas sebagai tersangka, yaitu AS, HS, KK, OK, YM, dan OK.
Sebaliknya, Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengembangan, dan Pengkajian Bantuan Hukum Manokwari Yan Warinussy mengatakan, kekerasan yang terjadi di Aimas menunjukkan ketidakdewasaan komunikasi politik aparat, baik TNI maupun Polisi. Ekspresi politik yang berbeda dalam negara demokrasi adalah hal yang wajar. Namun sayang, perbedaan itu dihadapi aparat dengan kekerasan.
Menurut Yan, perbedaan itu bisa dijembatani dengan komunikasi yang lebih persuasif. ”Bila untuk hal tertentu belum dicapai titik temu, tetapi untuk yang lain mungkin bisa,” katanya lagi.
Ia juga menyayangkan terjadinya bentrokan di Aimas. Hal itu tak perlu terjadi jika aparat dapat menahan diri.
Ketua Garda Papua Bovit Bofra menambahkan, aparat tidak memberikan ruang yang sama pada perbedaan perspektif di masyarakat. Tanggal 1 Mei memiliki makna yang berbeda-beda bagi warga Papua.