Entah tahun ini puncaknya atau bukan, toh masih ada tahun depan. Melihat gelagatnya, pemerintah akan tetap ngotot melaksanakan hajatan tersebut. Seperti keledai, dia suka menikmati keterperosokan ke lumpur yang sama, dan kita melihatnya sebagai kebebalan tiada tara.
Pendidikan sesungguhnya bukan soal yang tidak perlu rumit jika kita melihatnya sebagai proses berbudaya. Inti proses berbudaya adalah kepercayaan berbagai pihak akan hadirnya kebebasan dalam mengelola nilai yang disepakati bersama. Dalam kebebasan itu, seluruh pihak dapat berdialog, bahkan berdebat yang memungkinkan berkembangnya terus-menerus nilai yang disepakati tadi. Dengan kata lain, nilai disepakati dalam dialektika, bukan sesuatu yang mati, apalagi dimatikan.
Dialektika dibangun sekaligus diikat oleh kepentingan bersama, yakni oleh masa depan bangsa yang diandaikan ada pada pundak para peserta didik, sebuah generasi yang harus muncul dan tumbuh produktif pada 2-3 dasawarsa ke depan.
Pemerintah harus menjadi pasak bagi tegaknya kepercayaan dan dialektika tersebut. Sebagai pasak, ia harus meniscayakan tumbuh dan berkembangnya berbagai pemikiran kritis menjadi semesta bagi hidupnya berbagai gagasan apa pun tentang kependidikan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus menjadi rumah yang memberi rasa aman sekaligus menyenangkan bagi para aktivis dan hamba-hamba pendidikan. Pendidikan tidak akan pernah bisa berlangsung dengan baik tanpa kegembiraan sedemikian.
Di samping itu, pemerintah tak boleh terlalu jauh masuk dalam urusan substansi. Ia tidak boleh hadir pada masalah macam UN dan kurikulum. Sekali-kali pemerintah turut campur. Sebagaimana terjadi sekarang, muatan politik dan kuasanya menjadi sangat dominan. Lihatlah kasus UN dan Kurikulum 2013. Di situ tampak jelas tidak ada dialog. Kemdikbud cenderung hanya menggunakan ”fasilitas kuasanya”. Pihak-pihak yang kritis yang secara obyektif bisa diuji kesahihan argumentasinya dianggap sebagai musuh yang harus ditumpas.
Dalam kasus Kurikulum 2013, misalnya, para pengkritik kurikulum disebut sebagai antiperubahan, orang iseng, tidak memahami permasalahan, bukan pemain inti, dan lain-lain. Kurikulum kemudian menjadi soal politik. Kemdikbud menjadi sibuk mencari dukungan politik ke sejumlah partai politik. Pun demikian pada kasus UN. Meskipun kesalahannya telak, pemerintah tetap saja memasang muka bebal kuasanya.