Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pendidikan Minus Kebudayaan

Kompas.com - 04/05/2013, 02:47 WIB

Acep Iwan Saidi

Sebagai berita, karut-marut pelaksanaan ujian nasional telah berlalu. Kita semua tahu belaka, dalam lima tahun terakhir situasi seperti ini telah menjadi rutin. Tiap ujian nasional dilaksanakan, tiap kali itu pula kericuhan dituai.

Entah tahun ini puncaknya atau bukan, toh masih ada tahun depan. Melihat gelagatnya, pemerintah akan tetap ngotot melaksanakan hajatan tersebut. Seperti keledai, dia suka menikmati keterperosokan ke lumpur yang sama, dan kita melihatnya sebagai kebebalan tiada tara.

Pendidikan kuasa

Pendidikan sesungguhnya bukan soal yang tidak perlu rumit jika kita melihatnya sebagai proses berbudaya. Inti proses berbudaya adalah kepercayaan berbagai pihak akan hadirnya kebebasan dalam mengelola nilai yang disepakati bersama. Dalam kebebasan itu, seluruh pihak dapat berdialog, bahkan berdebat yang memungkinkan berkembangnya terus-menerus nilai yang disepakati tadi. Dengan kata lain, nilai disepakati dalam dialektika, bukan sesuatu yang mati, apalagi dimatikan.

Dialektika dibangun sekaligus diikat oleh kepentingan bersama, yakni oleh masa depan bangsa yang diandaikan ada pada pundak para peserta didik, sebuah generasi yang harus muncul dan tumbuh produktif pada 2-3 dasawarsa ke depan.

Pemerintah harus menjadi pasak bagi tegaknya kepercayaan dan dialektika tersebut. Sebagai pasak, ia harus meniscayakan tumbuh dan berkembangnya berbagai pemikiran kritis menjadi semesta bagi hidupnya berbagai gagasan apa pun tentang kependidikan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus menjadi rumah yang memberi rasa aman sekaligus menyenangkan bagi para aktivis dan hamba-hamba pendidikan. Pendidikan tidak akan pernah bisa berlangsung dengan baik tanpa kegembiraan sedemikian.

Di samping itu, pemerintah tak boleh terlalu jauh masuk dalam urusan substansi. Ia tidak boleh hadir pada masalah macam UN dan kurikulum. Sekali-kali pemerintah turut campur. Sebagaimana terjadi sekarang, muatan politik dan kuasanya menjadi sangat dominan. Lihatlah kasus UN dan Kurikulum 2013. Di situ tampak jelas tidak ada dialog. Kemdikbud cenderung hanya menggunakan ”fasilitas kuasanya”. Pihak-pihak yang kritis yang secara obyektif bisa diuji kesahihan argumentasinya dianggap sebagai musuh yang harus ditumpas.

Dalam kasus Kurikulum 2013, misalnya, para pengkritik kurikulum disebut sebagai antiperubahan, orang iseng, tidak memahami permasalahan, bukan pemain inti, dan lain-lain. Kurikulum kemudian menjadi soal politik. Kemdikbud menjadi sibuk mencari dukungan politik ke sejumlah partai politik. Pun demikian pada kasus UN. Meskipun kesalahannya telak, pemerintah tetap saja memasang muka bebal kuasanya.

Pendidikan tanpa nilai

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com