Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bermasalah di Pelaksanaan, Bukan Undang-undang

Kompas.com - 03/05/2013, 02:57 WIB

Jakarta, Kompas - Wacana untuk membuat otonomi khusus plus dari pelaksanaan Undang-Undang Otsus Papua Nomor 21 Tahun 2001 yang belum maksimal dinilai menimbulkan masalah baru. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, diharapkan konsisten melaksanakan UU Otsus yang ada saat ini.

Hal itu disampaikan Direktur Lembaga Penguatan Masyarakat Sipil Papua Budi Setyanto dan dosen Universitas Negeri Papua, Agus Sumule, Kamis (2/5), menanggapi wacana pembuatan otonomi khusus (otsus) plus.

”Apa sudah dievaluasi, yang masalah itu pelaksanaannya atau undang-undangnya. Menurut saya, pelaksanaannya,” kata Budi. Ia mengatakan, kalau sekarang otsus plus akan memberikan keleluasaan lebih untuk mengatur anggaran, itu berarti tidak ada yang berubah dari persepsi pemerintah pusat. ”Persepsi Jakarta, kalau sudah dikasih uang lalu selesai,” ujarnya.

Hal senada disampaikan Agus Sumule. Agus mengungkapkan, UU Otsus sebenarnya masih relevan, hanya pelaksanaannya belum maksimal. Namun, banyak hal yang mewarnai pelaksanaan otsus, di antaranya korupsi dan kurang totalnya pemerintah melaksanakan UU itu.

Menurut Agus, setelah hampir 13 tahun otsus, seharusnya bukan lagi anggaran yang dibicarakan, melainkan agenda yang menjadi aspirasi masyarakat Papua, seperti soal pelurusan sejarah. ”Ini amanat undang-undang yang hingga sekarang belum dilaksanakan,” ujarnya. Agus menambahkan, dengan otsus plus itu, pemerintah pusat terkesan berkutat pada soal finansial.

Meski demikian, dalam otsus plus itu, ternyata aspirasi pemekaran juga masih muncul dengan tujuan mempercepat pembangunan. ”Salah satu yang kami minta dalam otsus plus Papua adalah lebih banyak dilakukan pemekaran untuk mempercepat pembangunan,” ucap Bupati Raja Ampat Marcus Wanima, Kamis, di Raja Ampat, Papua Barat.

Menurut Marcus, perlu ada pemekaran provinsi di Papua. Pemekaran yang tengah dikaji adalah Provinsi Kepulauan Raja Ampat dan Papua Barat Daya. Saat ini di Papua ada dua provinsi, yakni Papua dan Papua Barat. Tuntutan pemekaran di tingkat kabupaten juga mencuat. ”Seperti di kawasan Raja Ampat, perlu pemekaran Kabupaten Raja Ampat Utara dan Raja Ampat Selatan,” kata Marcus.

Ketua Dewan Perwakilan Daerah Irman Gusman di Raja Ampat mengatakan, daerah tidak bisa sepenuhnya mengandalkan keuangan dari pemerintah pusat. ”Dana yang diberikan pemerintah pusat hanya cukup untuk kebutuhan dasar, misalnya birokrasi dan infrastruktur dasar. Jika mau lebih, daerah harus membangun sendiri melalui kreativitas dan inovasi dalam menemukan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi,” katanya.

Irman menyebutkan, dari total APBN sekitar Rp 1.600 triliun, sebagian besar habis untuk birokrasi dan bayar utang. Alokasi anggaran pembangunan sekitar 15 persen. Papua, ujarnya, punya potensi besar untuk tumbuh pesat karena kekayaan alam melimpah, mulai dari tambang, hutan, hingga perikanan. (EDN/FAJ)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com