Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Polisi Bertanggung Jawab

Kompas.com - 02/05/2013, 03:50 WIB

LUBUK LINGGAU, KOMPAS - Kapolda Sumatera Selatan Inspektur Jenderal Saud Usman Nasution bertanggung jawab dan meminta maaf atas tewasnya empat warga Kecamatan Rupit, Musi Rawas, Sumatera Selatan. Namun, untuk memastikan adanya kesalahan prosedur, polisi menggelar penyelidikan.

Hal itu diungkapkan Saud Usman Nasution saat bertemu keluarga korban dan tokoh Musi Rawas Utara (Muratara), Rabu (1/5), di Kota Lubuk Linggau. Pertemuan tak dihadiri Bupati Musi Rawas Ridwan Mukti.

Lokasi pertemuan berjarak sekitar 120 kilometer dengan Desa Muara Rupit, Kecamatan Rupit, Kabupaten Musi Rawas, yang dua hari sebelumnya rusuh. Dialog digelar di Lubuk Linggau karena warga Rupit masih menolak kehadiran polisi. Warga mengancam akan menolak polisi sebelum pelaku penembakan ditangkap dan diadili.

”Sebagai atasan petugas yang bertugas saat kejadian, saya bertanggung jawab penuh atas kejadian yang menewaskan empat warga itu,” ujarnya, seraya berjanji menanggung biaya pengobatan dan memberi santunan kepada keluarga korban tewas.

Saud juga berjanji mengusut serta menindak secara hukum para pelakunya.

Personel diganti

Menurut Saud, saat ini, pihaknya tengah memeriksa semua polisi yang bertugas di lapangan saat penembakan. Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) Musi Rawas Ajun Komisaris Besar M Barly Ramandhany dan Kapolsek Rupit Ajun Komisaris M Ali Rahman juga diperiksa. ”Semuanya diperiksa tanpa kecuali,” ujarnya.

Seluruh personel di dua polsek yang dibakar warga juga diganti. Sebanyak 17 petugas baru disiapkan untuk menggantinya. Untuk mendekatkan kepada warga, polisi yang ditugaskan tidak hanya warga asli, tetapi juga yang memiliki kerabat di Rupit.

Di Jakarta, Kepala Bagian Penerangan Masyarakat Kepolisian Negara RI (Polri) Komisaris Besar Agus Rianto justru berbeda pandangan. Menurut dia, bentrokan terjadi karena aksi unjuk rasa warga di Rupit menutup jalan lintas Sumatera. Bahkan, ada warga yang membawa senjata rakitan. Polisi pun berusaha membubarkan massa.

”Ada provokasi untuk melakukan perlawanan terhadap aparat sehingga terjadi bentrokan. Dalam pembubaran massa itu, ada juga warga yang membawa senjata rakitan dan menembakkan senjata tersebut. Aparat pun kemudian melepaskan tembakan,” ungkapnya.

Oleh sebab itu, kata Agus, Polda Sumsel bersama Inspektorat Pengawasan Umum serta Divisi Profesi dan Pengamanan Mabes Polri melakukan pemeriksaan internal terhadap dugaan penembakan. Namun, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan justru menilai tindakan polisi sangat berlebihan dan tidak proporsional dalam menangani aksi massa.

Sebagaimana diberitakan, bentrokan terjadi pada Senin (29/4) malam saat warga yang menuntut pemekaran Muratara, dengan cara memblokade jalan lintas Sumatera, menunggu hasil negosiasi yang diwakili Syarkowi—mantan anggota DPRD Sumsel yang aktif di Presidium Muratara—dengan polisi. Dengan alasan agar tak terjadi kemacetan lalu lintas di lintas Sumatera, polisi meminta warga yang menggelar aksi sejak pagi untuk membuka blokade jalan. Namun, warga tetap bersikeras, yang kemudian dilakukan perundingan. Saat menunggu hasil negosiasi, mendadak datang pasukan baru yang sebelum menembak warga secara sporadis menembakkan pistolnya ke udara.

Kemarahan warga pun memuncak setelah ada korban tewas. Warga pun membakar Polsek Musi Rawas dan Polsek Karang Dapo pada malam itu dan esoknya. Sejumlah kendaraan polisi juga ikut dibakar. Korban terjadi tak hanya di pihak warga, yang juga luka-luka, tetapi juga polisi. Enam orang polisi mengalami luka kritis.

Izinkan otopsi

Dari hasil pertemuan itu, keluarga korban sepakat mengizinkan kepolisian mengotopsi jenazah para korban, terutama untuk pengambilan proyektil. Sebelumnya, keluarga korban menolak otopsi. ”Untuk independensi, kami minta agar ada dokter dari luar polisi yang terlibat dalam otopsi,” kata perwakilan warga, M Aidi Rawas.

Meski demikian, kata Aidi, warga tetap menolak kedatangan polisi ke Kecamatan Rupit. ”Warga masih emosi sehingga kedatangan polisi dikhawatirkan menimbulkan kericuhan. Kami minta segala proses hukum diawasi TNI,” tuturnya.

Dalam pertemuan itu, warga menuntut pencopotan Kapolres Musi Rawas dan Kapolsek Rupit. Mereka dituding membiarkan anak buahnya melakukan penembakan, padahal warga belum melakukan perlawanan.

Warga menilai polisi yang bertugas menyalahi prosedur pembubaran massa. ”Saat itu tak ada dialog, tak ada peluru karet, tetapi langsung peluru tajam,” kata Eddy Susanto, seorang saksi mata.

Sejumlah saksi mata menuding pelaku penembakan terdiri dari gabungan Polres Musi Rawas dan Polsek Rupit. Warga juga menyangkal versi polisi yang mengatakan saat itu warga membawa senjata dan menembakkan senapan rakitan. ”Justru kemarahan warga baru muncul setelah timbulnya korban dari warga,” kata seorang saksi.

Penuhi persyaratan dulu

Sementara itu, pasca-kerusuhan yang memakan korban, warga menuntut agar usulan pemekaran Muratara untuk lepas dari Kabupaten Musi Rawas segera disetujui. Mereka menunggu realisasi janji Gubernur Sumsel Alex Noerdin menyelesaikan pemekaran Muratara paling lambat 15 Mei mendatang.

Namun, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi di Jakarta menyatakan, kerusuhan tidak serta-merta mendorong pengesahan pemekaran Muratara. Pemerintah hanya akan menerima pemekaran wilayah jika daerah itu memenuhi semua persyaratan. ”Muratara belum bisa dimekarkan karena batas wilayahnya masih bermasalah. Ada kurang lebih 200 usulan daerah baru. Apa karena kerusuhan lalu disahkan? Kan, tidak boleh seperti itu. Harus berdasarkan pemenuhan syarat di peraturan (pembentukan daerah otonom baru,” ujarnya.

Muratara, kata Gamawan, sesungguhnya termasuk 19 usulan daerah otonom baru yang dibahas sejak tahun lalu di DPR, tetapi wilayah ini belum memenuhi syarat. Kekurangan Muratara terkait batas wilayah. Batas wilayah induk—Musi Banyuasin dan Musi Rawas—pun belum rampung ditegaskan, apalagi batas wilayah Musi Rawas Utara.

”Persyaratan lain sudah kami evaluasi. Tinggal itu, tetapi batas wilayah adalah salah satu prinsip. Selama belum clear, tak bisa dimekarkan,” ucapnya, seraya menyatakan pihaknya berpegang pada Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah Otonom Baru.

Hal yang sama disampaikan Wakil Ketua Komisi II DPR Arif Wibowo di Gedung DPR. Menurut dia, Muratara belum disahkan sebagai daerah otonom baru karena masih ada masalah terkait perbatasan wilayah. Jika masalah itu belum diselesaikan, dikhawatirkan muncul persoalan jika pemekaran daerah disetujui.

Arif menambahkan, status keberadaan sumur gas Suban IV menjadi penghalang pemekaran Muratara dari daerah induknya, yaitu Musi Rawas. ”Ada yang menyebut sumur gas itu masuk Kabupaten Musi Rawas, tetapi ada juga yang menyatakan masuk Musi Banyuasin,” katanya.(IRE/INA/FER/NWO)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com