Jakarta, Kompas
”Secara prosedural, itu tidak masalah. Kalau soal substansi, apa yang menjadi keberatan pemerintah pusat bisa dibicarakan. Mungkin ada substansi yang dalam bahasa ekstrem dianggap mengancam kedaulatan NKRI. Kalau asumsi kita, itu hanya bendera. Apa artinya sebuah bendera kalau bukan bendera sebuah bangsa. (Jika bendera bangsa), itu baru penting, baru sebuah identitas. Kalau hanya bendera pemerintahan Aceh, kenapa
Kemarin, Gubernur Aceh Zaini Abdullah datang ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk bertemu Akil. Salah satu pokok yang dibahas adalah pro-kontra Qanun No 3/2013 yang memicu kontroversi belakangan ini.
Zaini menyatakan, persoalan Qanun Bendera dan Lambang Aceh sebenarnya dipicu adanya perbedaan persepsi. Ia menegaskan, bendera tersebut bukanlah bendera kedaulatan. ”Aceh sekarang sudah damai setelah melewati konflik begitu lama, 30 tahun. Kemudian berdamai di Helsinki, dalam masa lebih kurang enam bulan bisa diselesaikan, damai di bawah NKRI. Itu artinya, sejak damai, bendera kedaulatan adalah Merah Putih,” tutur Zaini kepada wartawan seusai bertemu Akil.
Menurut Akil, konstitusi
”Dalam konteks NKRI, itu sudah selesai. Ketika ada bendera lain, dalam pandangan kita tidak ada masalah. Boleh saja, karena di Undang-Undang Pemerintah Aceh memang disebutkan Pemerintah Aceh diberi kewenangan boleh membuat bendera dan lambang daerahnya,” ucap Akil.
Namun, apabila terdapat warga Aceh yang keberatan dengan qanun tersebut, tambahnya, mereka bisa mempersoalkan ketentuan itu ke Mahkamah Agung melalui uji materi. Uji materi tersebut hanya bisa diajukan masyarakat Aceh karena qanun hanya mengikat mereka dan bukan orang di luar Aceh.
Saat ini, pemerintah pusat dan Pemerintah Aceh tengah berupaya mencari solusi untuk menuntaskan permasalahan tersebut. ”Kita setuju untuk
Rabu ini, Zaini berencana bertemu dengan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi untuk membahas hal tersebut.