Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kelangkaan Solar Merugikan Ratusan Miliar Rupiah Per Hari

Kompas.com - 29/04/2013, 07:33 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Kelangkaan solar yang terjadi belakangan ini telah menciptakan kerugian ratusan miliar rupiah per hari. Hal itu terjadi karena biaya logistik meningkat akibat lamanya truk yang mengantre solar di sejumlah daerah. Pemerintah perlu segera bersikap.

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Suryo Bambang Sulisto di Jakarta, Minggu (28/4/2013), memperkirakan, kerugian ekonomi dunia usaha akibat kelangkaan solar bisa mencapai ratusan miliar rupiah. ”Terhambatnya kelancaran distribusi barang karena antrean truk, termasuk produk yang rusak di jalan dan lain-lain, bisa ratusan miliar,” kata Suryo.

Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi, ketidakjelasan kebijakan energi mengakibatkan kerugian dalam hal harga, ongkos pengangkutan, ketidakpastian usaha, bertambahnya pengangguran, dan terganggunya investasi. ”Ratusan miliar rugi setiap hari,” kata Sofjan lewat pesan pendek dari Roma, Italia.

Menurut Sofjan, ketidakjelasan kebijakan energi sudah mengganggu makroekonomi. Kondisi ini semakin menyulitkan dunia usaha Indonesia bersaing dengan barang-barang impor.

”Sulit dihitung kerugian dalam bentuk rupiah sekarang ini. Momentum pertumbuhan ekonomi sudah terganggu,” ujarnya.

Suryo mengatakan, Kadin berharap persoalan terkait bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi diselesaikan dengan tuntas. Alih-alih untuk pemberian subsidi BBM yang tidak jelas sasarannya, lebih baik dana tersebut digunakan untuk hal-hal yang lebih produktif.

”Dana yang sekitar Rp 300 triliun tersebut, misalnya, bisa direalokasikan ke provinsi-provinsi. Di provinsi, 50 persen dana dapat digunakan untuk infrastruktur, selebihnya untuk kesehatan, pendidikan, mendorong usaha kecil dan menengah, menambah modal Bank Pembangunan Daerah, dan hal produktif lainnya,” kata Suryo.

Terlambat

Kerugian akibat kelangkaan solar terlihat di Pasar Induk Kramatjati, Jakarta Timur. Sudah berhari-hari puluhan truk parkir di Pasar Induk Kramatjati karena tak ada buah-buahan atau sayuran yang dikirim dari Pulau Jawa ke Pulau Sumatera.

Tak adanya kiriman buah atau sayuran tersebut dikarenakan para pemilik barang ragu kiriman mereka dapat sampai tepat waktu. Kelangkaan solar dalam sebulan terakhir ini menjadi alasan dasar sering terjadi keterlambatan pengiriman barang.

Sopir truk asal Sumatera Barat, Datuk Son dan Adi, kepada Kompas, Sabtu (27/4/2013), menuturkan, ”Biasanya, satu hari setelah sampai Jakarta, saya langsung kembali ke Padang membawa sayur-sayuran. Namun, saat ini sudah hampir satu minggu saya tidak pulang karena tidak ada muatan,” ujar Adi.

Dalam sehari, sopir mendapatkan uang makan Rp 50.000. Karena itu, semakin lama sopir menunggu muatan, semakin besar pula biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan yang kurang produktif itu.

”Bahkan, ada teman kami yang sudah 24 hari parkir di Pasar Kramatjati. Kami semua menunggu muatan. Kalau solar langka seperti ini, barang kiriman rawan terlambat. Akibatnya, tidak ada yang berani mengirim daripada harus menanggung kerugian besar akibat barang rusak dan klaim hingga jutaan rupiah,” ujar Datuk Son.

Keterlambatan beberapa jam saja membuat mereka harus membayar klaim kepada penerima. Hal itu belum lagi kerugian yang diakibatkan rusaknya barang-barang yang cepat busuk, seperti buah dan sayuran. ”Cabai dari Jawa itu datangnya harus tepat waktu karena mudah rusak. Kalau rusak tidak ada yang mau mengambil. Saya juga pernah mengirim pakaian dari Tanah Abang, Jakarta, ke Padang. Kiriman yang harusnya datang pukul 04.00 baru datang pukul 07.00. Akhirnya sopir yang harus bayar klaim sampai Rp 4.000.000,” ucapnya.

Hal serupa dirasakan Yoyok dan Puput yang biasa mengirimkan barang antarprovinsi di dalam Pulau Jawa. Menurut Yoyok, kelangkaan solar terjadi di daerah Cirebon hingga Jawa Tengah, bahkan sampai Surabaya. Biasanya, perjalanan Jakarta-Surabaya dapat ditempuh tiga hari. ”Kalau harus mengantre solar bisa sampai empat hari,” kata Yoyok. Meski demikian, ia mengaku senang harus mengantre solar karena itu artinya waktu istirahatnya bertambah.

Yoyok adalah salah satu sopir PT 33 yang khusus menyewakan truk untuk jasa pengiriman. ”Kami mendapat tugas mengirimkan pelat besi gulung dari Jakarta ke Surabaya. Dari Surabaya biasanya kami membawa semen Gresik untuk dibawa ke Jakarta,” ujar Yoyok.

Operasi menurun

Kerugian dari kelangkaan solar diungkapkan Ketua DPC Organda Khusus Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, Kody F Lamahayu. Dia mengatakan, sudah hampir sepekan ini sebanyak 280 pengusaha angkutan dengan 7.500 truk kesulitan solar.

Kebutuhan solar untuk angkutan truk di Pelabuhan Tanjung Perak sekitar 375.000 liter per hari, dengan asumsi setiap truk dari 7.500 truk itu membutuhkan solar sekitar 50 liter per hari. Kody menambahkan, sulitnya membeli solar membuat banyak pengusaha tidak mengoperasikan armadanya.

Hal senada diungkapkan Ketua DPD Organda Jawa Timur HB Mustofa. Dia mengatakan, antrean pembelian solar mengakibatkan beberapa bus tidak beroperasi sehingga pendapatan sekitar Rp 2 juta per hari per unit hilang.

”Saya belum tahu persis berapa bus yang tidak beroperasi karena sulitnya memperoleh solar, tetapi banyak pemilik armada memilih mengurangi jumlah bus yang beroperasi,” katanya. Meski bus tidak beroperasi, pengusaha bus tetap mengeluarkan Rp 50.000 untuk upah sopir bus.

Kepala Humas Perum Bulog Subdivisi Regional Banyumas, Jateng, Priyono, Minggu (28/4), mengatakan, kelangkaan pasokan solar bersubsidi mengganggu pengadaan pangan dan distribusi beras di daerah. Truk-truk pengangkut beras kesulitan mendapatkan solar. Bahkan, kapasitas penggilingan padi di Kabupaten Banyumas dan Kebumen merosot hingga 50 persen.

Priyono mengatakan, jika pada kondisi normal bongkar muat truk beras ke gudang-gudang Bulog di wilayah Banyumas dan sekitarnya 5-6 unit per hari, sebulan terakhir ini hanya 2-3 unit per hari.

”Truk-truk pengangkut beras tidak beroperasi sepenuhnya karena harus mengantre solar di SPBU. Akibatnya, menghambat distribusi beras dari sentra pertanian ke gudang Bulog,” ujarnya. Hingga kini, penyerapan Bulog Subdivre Banyumas baru sekitar 17.000 ton dari prognosis sepanjang tahun 115.000 ton.(CAS/K09/K10/K12/RIZ/REK/SIR/ETA/INK/WIE/GRE/AYS/NIT/ABK/EKI/ODY/DEN/BAY)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com