JAKARTA, KOMPAS -
Luas hutan Aceh kini diperkirakan 3,34 juta hektar, dengan 1,2 juta ha dialokasikan untuk pertambangan dan perkebunan.
”Pembahasan Raperda RTRW perlu dihentikan. Pertimbangkanlah keberatan masyarakat sekitar hutan,” kata Direktur Greenomics Indonesia Elfian Effendi pada dialog publik ”Selamatkan Hutan Aceh”, di Jakarta, Senin (22/4). Pembicara lain, penasihat Muhammadiyah Aceh Tengku Imam Syuja dan perwakilan masyarakat Aceh Tamiang, Faisal.
Elfian juga meminta izin dan konsesi yang diberikan ketika Raperda RTRW disusun agar dicabut. ”Raperda RTRW belum disahkan, izin sudah diberikan. Itu menyalahi aturan,” ujarnya.
Menurut Faisal, masyarakat selalu jadi korban bencana gundulnya hutan. Di sisi lain, mereka dikriminalisasi ketika minta sebagian area hutan.
”Pertambangan dan perkebunan sawit menguasai ribuan hektar hutan. Sementara itu, kami sulit memiliki 1 hektar saja. Kalau banjir, periuk dan kompor kami disapu air, perusahaan itu santai melenggang,” katanya.
”Bila Raperda RTRW disahkan, lebih banyak mudaratnya bagi masyarakat Aceh. Banjir bandang niscaya akan terjadi lagi,” kata Tengku Imam Syuja.
Pada pembukaan diskusi, pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas menyampaikan, masalah hutan bermula dari banyaknya wilayah hutan yang tidak diatur jelas dalam regulasi.
”Luas hutan Indonesia 128 juta hektar, hanya 11 persen yang diatur dalam regulasi jelas. Izin yang dikeluarkan di wilayah hutan banyak amburadul. Motifnya, hutan jadi sumber dana pemilihan kepala daerah. Jika tak ditindak, negara rugi,” katanya.
Peneliti hukum Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz, mengatakan, hingga tahun 2012, setidaknya 22 kasus korupsi terkait kehutanan ditangani KPK. ”Korupsi kehutanan dimulai dari penerbitan perundangan yang melegitimasi praktik terlarang di wilayah hutan. Implikasinya, diterbitkanlah izin,” katanya.
Di tempat terpisah, staf ahli Kementerian Kehutanan Bidang Hubungan Antar Lembaga San Afri Awang mengatakan, program pemberdayaan pengelolaan hutan dari Kemhut masih timpang karena tidak sesuai kultur daerah. Lokasi hutan untuk program didominasi perusahaan tambang. Ketimpangan itu antara lain pada program Pengarusutamaan Jender.