Jakarta, Kompas -
Pengaduan itu disampaikan orangtua murid kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Senin (15/4).
”Anak saya mengadu bahwa wali kelasnya melontarkan kata-kata tidak pantas. Anak saya disebut anak kere karena tidak ikut karyawisata. Ini membuat anak saya trauma,” kata Aminah, ibunda dari A.
Untuk mengikuti karyawisata, orangtua siswa dipungut Rp 250.000. Pungutan lain yang diminta, antara lain uang seragam Rp 445.000, pembelian pot bunga Rp 15.000, pembangunan pagar sekolah Rp 100.000, pembangunan ruang tunggu Rp 20.000, pembangunan mushala Rp 200.000, biaya kartu pelajar Rp 30.000, dan lima buku tulis berlogo sekolah Rp 30.000.
Orangtua juga dipungut uang kas Rp 15.000 per bulan. Uang kas yang terkumpul ini digunakan untuk membayar tunjangan hari raya guru, gaji petugas satpam Rp 600.000 per semester, kebersihan kelas Rp 150.000 per bulan, dan biaya transportasi ke Puncak Rp 150.000.
Eka, orangtua siswa lain, juga merasakan intimidasi. ”Anak saya mengadu kalau saya disebut mama yang jahat dan provokatif,” kata Eka.
Sementara itu, pihak sekolah membantah hal itu. Menurut Evi Silviyanti, Kepala SDN 25 Utan Kayu Selatan, sejak masalah ini terkuak bulan Maret, pihaknya belum berkomunikasi dengan para orangtua yang mengajukan gugatan atas tindakan pungutan liar. ”Seharusnya para orangtua itu berbicara terlebih dahulu dengan pihak kami apabila tidak sanggup membayar,” kata Evi.
Evi mengungkapkan, sejumlah dana untuk uang kas, pendirian rumah ibadah, bukan ditentukan pihaknya, melainkan berdasarkan kesepakatan para orangtua yang menjadi pengurus kelas. Uang perlengkapan sekolah, seperti seragam batik, dinilai Evi, sudah sesuai harga standar.
Evi yang didampingi sejumlah guru merasa tidak dihargai karena dituduh melakukan pungutan liar. ”Para guru merasa lebih baik dimutasi saja dari sekolah jika terus-terusan mendapat tuduhan seperti itu,” ujarnya.
Ketua KPAI Badriyah Fayumi akan memanggil pihak terlapor atas kasus ini. ”Kami akan melakukan mediasi,” ujarnya.
Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Taufik Yudi Mulyanto mengatakan, pihak sekolah tidak bisa memaksa orangtua siswa untuk membayar iuran. Pihak sekolah hanya boleh memediasi keinginan orangtua siswa membangun sarana sekolah. Dana yang terhimpun juga harus dipertangungjawabkan secara transparan.