Dia harus menjaga Farid yang tidak bisa tidur semalaman karena Suripto (38), suaminya, sibuk membantu mengevakuasi warga. Suripto yang bekerja sebagai buruh cangkul sawah itu adalah ketua rukun tetangga di desanya.
”Kami belum mendapat bantuan makanan. Pagi tadi baru mendapat roti. Mau masak tidak bisa karena beras 1 kilogram (kg) kami pun hanyut terbawa banjir,” kata Mastikah.
Meski hanya 1 kg, beras itu sangat berarti bagi Mastikah. Beras itu sangat dibutuhkan ketika mereka berada dalam pengungsian. Suaminya membeli beras seharga Rp 6.500 per kg itu dari hasil mencangkul dengan upah Rp 20.000 per hari.
Tak jauh dari mereka, Masripah (45) tengah menunggu suaminya yang sedang menyelamatkan dua karung gabah kering panen yang masih tersimpan di rumah. Gabah siap jual itu juga sangat berarti bagi Masripah dan keluarganya. Tanpa gabah itu, dia tidak dapat makan atau mendapatkan uang.
”Tidak hanya rumah dan harta benda yang terendam air, benih padi yang baru saya tanam juga pasti rusak dan harus diganti. Padahal, modal untuk menanam padi itu Rp 2,5 juta,” kata Masripah, petani pemilik sawah seluas 1.300 meter persegi itu.
Banjir akibat luapan Sungai Wulan menjadi langganan warga yang tinggal tak jauh dari tanggul sungai yang membatasi Kabupaten Demak dan Kudus. Selasa (9/4) sekitar pukul 20.30, tanggul Sungai Wulan di Desa Mijen jebol sepanjang 50 meter.
Jalan Raya Jepara-Demak melalui Kecamatan Mijen putus karena tergenang banjir sedalam 1 meter dan sepanjang 500 meter. Banjir juga menggenangi persawahan dan permukiman warga di empat desa sehingga 2.174 warga mengungsi, termasuk Mastikah dan Masripah.
Banjir Sungai Wulan adalah dampak dari banjir Sungai Lusi dan Serang di Kabupaten Grobogan, Jateng, yang berhulu di Pegunungan Kendeng Utara dan Pegunungan Grobogan bagian selatan. Balai Pengelola Sumber Daya Air Serang Lusi Juwana (BPSDA Seluna) mencatat, pada Rabu pagi, debit air sungai itu mencapai titik tertinggi, 1.000 liter per detik.