Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mewaspadai Guntur Tanpa Jeda

Kompas.com - 11/04/2013, 02:52 WIB

Sudah 166 tahun Gunung Guntur di Kabupaten Garut tertidur. Beberapa kali gunung ini menggeliat dan mengirim tremor, lalu kembali terdiam. Namun, diamnya Guntur sebenarnya menyimpan mara, mengingat riwayat letusannya di masa lalu yang mengerikan. Bahkan, Guntur pernah dinobatkan sebagai gunung teraktif di Jawa. Ahmad Arif dan Cornelius Helmy

Selama kurun waktu tahun 1800-1847, Gunung Guntur meletus 21 kali. Tak mengherankan gunung ini pernah sangat ditakuti. Naturalis kelahiran Jerman, F Junghuhn (1850), menggambarkan gunung ini sebagai gunung api teraktif di Jawa pada waktu itu setelah Gunung Lamongan di Jawa Timur. Adapun Gunung Merapi menempati urutan ketiga.

”Gunung ini sangat ditakuti, kawahnya bergerigi. Setiap tahun meletus, dibarengi suara gemuruh, melontarkan abu, pasir, dan batu, menutup dataran hijau di sekitarnya,” tulis Junghuhn.

Letusannya yang bergemuruh dan kerap diikuti petir membuat gunung ini dijuluki ”Donderberg van Garut” (gunung petir dari Garut). Petir dalam bahasa Sunda sering disebut guntur.

Jejak kedahsyatan letusan gunung berketinggian 2.249 meter di masa lalu sebenarnya tercetak jelas di Garut, tetapi banyak warga tidak menyadarinya. Beberapa kawasan padat hunian sebenarnya dibangun di atas material awan panas Gunung Guntur, misalnya Kecamatan Tarogong Kaler, Kecamatan Tarogong Kidul, Kecamatan Leles, bahkan sebagian Kota Garut.

Selain jejak awan panas yang mengalir jauh hingga ke Kota Garut, tahun 1840, gunung ini tercatat mengalirkan lava hingga sekitar 300 meter sebelah utara permandian Cipanas. Cipanas sebenarnya dibangun di atas lapisan lava, produk dari letusan Guntur yang jauh lebih tua.

Guntur yang semula sangat aktif tiba-tiba bungkam setelah letusan tahun 1947. Beberapa tahun, gunung ini sempat dinaikkan statusnya karena gempa tremor yang tiba-tiba tinggi, misalnya tahun 1994, 1997, 1998, 2004, dan 2009. Karena tenaganya tidak cukup besar, sumbat lava di puncak gunung tak sanggul bobol. Guntur kembali diam.

Sejak Selasa (2/4) pukul 17.00, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Surono menaikkan status Guntur karena terekam tremor menerus dengan amplitudo rata-rata 10-15 mm.

Rekaman tremor membuat Surono cemas. Sejak 2 April, tremor terus terekam sangat panjang. Selama 27 tahun pengamatan Guntur, baru kali ini terekam tremor menerus.

Tremor kembali terekam empat hari kemudian. Selama dua hari, terekam tremor 16 jam dengan amplitudo 2-4 mm. Tremor muncul lagi Rabu (10/4). Sejak pukul 07.50 hingga pukul 14.00, terekam tremor dengan amplitudo 2-4 mm.

”Ini tidak pernah terjadi, setidaknya sejak Guntur diawasi menggunakan seismograf tahun 1985,” katanya.

Gunung api kota

Sejarah dan jejak letusan Guntur, yang melapisi permukiman padat penduduk, membuat para ahli PVMBG galau, begitu Guntur menggeliat. Belum lagi zona bahaya Guntur saat ini disesaki hunian sehingga Guntur masuk kategori gunung api kota. Guntur berdiri di tengah kota yang dihuni banyak manusia. Mereka telanjur beranak pinak dan menggantungkan hidup di sekitarnya. Ada 136.000 warga yang tinggal dalam radius 5-8 kilometer dari puncak. Pusat kota Kabupaten Garut berjarak 7 km dari puncak.

Dengan sejumlah kerawanan itu, Surono mengatakan, sebenarnya Guntur dilengkapi amunisi lengkap. Sosialisasi kebencanaan dilakukan beberapa kali. Kerja sama dengan Sakurajima Volcano Research Center, Disaster Prevention Research Institute Kyoto University, hingga Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika serta Kementerian Perhubungan dilakukan.

Hasilnya, ada enam alat pemantau seismik dipasang mengelilingi Guntur. Empat tiltmeter untuk mengukur kembang kempis badan gunung dipasang di timur Guntur, Puncak Guntur, Sodong, dan Cikatel. Untuk kecepatan dan penyimpanan data melalui satelit, dilengkapi juga empat alat global positioning system. Sederet alat ini membuat Guntur merupakan gunung yang paling terpantau.

Namun, sederet alat ini akan kurang fungsinya tanpa ada kesiapsiagaan warga. Walau sebagian warga cemas dengan peningkatan aktivitas, banyak juga yang adem ayem.

Misalnya, Maman Sasmita (36), yang bekerja di permandian air panas di Cipanas, Kecamatan Tarogong Kaler. ”Sudah lihat di koran dan televisi, katanya Guntur kritis. Tapi saya belum punya persiapan apa-apa. Belum pasti juga meletusnya,” ujarnya.

Imas (46), warga Cukangkawung, Desa Sirnajaya, Tarogong Kaler, mengatakan, tidak cemas dengan status Waspada Guntur. ”Dulu sudah pernah ada kabar itu, tapi sampai sekarang belum meletus juga,” kata Imas.

Surono mengingatkan, kemunculan tremor memang tidak selalu diakhiri letusan. Bisa saja aktivitas Gunung Guntur akan turun meski terekam tremor menerus yang panjang.

Dia mengharapkan, masyarakat bersikap arif menghadapi hal ini. Di satu sisi, masyarakat bisa tetap beraktivitas di luar radius 2 kilometer. Namun, di sisi lain, masyarakat diminta tetap siaga bila sewaktu-waktu terjadi peningkatan aktivitas.

”Kami mengajak masyarakat tetap siaga. Mayoritas masyarakat Garut mungkin sudah lupa dengan letusan Guntur. Guntur terakhir kali meletus 166 tahun yang lalu,” katanya.

Diamnya Guntur memang melenakan, tetapi kesiapsiagaan harusnya tak mengenal jeda.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com