Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kalah dari Pabrik, Petani Sulit Jual Garam Konsumsi

Kompas.com - 04/04/2013, 16:15 WIB
Kontributor Pamekasan, Taufiqurrahman

Penulis

PAMEKASAN, KOMPAS.com - Petani garam di Pamekasan, Jawa Timur yang mengembangkan usaha kepada garam konsumsi rumahan, mengalami kesulitan pemasaran. Pasalnya, kondisinya terus terhimpit dan kalah bersaing dengan serbuan garam produksi pabrikan.

Akibatnya,  akhir-akhir ini petani memproduksi garam konsumsi ketika ada pesanan saja. Garam dari hasil panen terpaksa dijual kiloan daripada diproduksi menjadi garam konsumsi.

Fathorrahiem, petani garam asal Desa Lembung, Kecamatan Galis, mengatakan, industri garam konsumsi milik petani saat ini antara hidup dan mati. Dia hanya bisa memproduksi ketika sudah ada pesanan dari penjual. "Kalau tidak ada pesanan kita tidak produksi dan pekerjanya beralih ke pekerjaan lainnya," ungkapnya, Kamis (4/4/2013).

Ditambahkan Fathor, selain karena tidak menentunya pesanan pasar, garam konsumsi petani juga kalah bersaing dalam hal kemasan, kualitas dan kuantitas produksi. Milik perusahaan garam, kemasannya lebih bagus dan lebih rapi. Produksinya juga dalam skala besar, beda dengan milik petani garam yang tidak menentu.

"Kalau perusahaan garam, produksinya sudah menggunakan alat-alat modern berupa mesin. Sedangkan kita masih lebih mengandalkan tenaga manusia," terang Fathor.

Peralatan mesin yang dimiliki petani saat ini hasil dari modifikasi mereka sediri. Walaupun ada mesin hasil bantuan dari pemerintah namun tidak dipakai. Alasannya karena tidak sesuai dengan kebutuhan petani. Bahkan ada sebagian mesin hasil bantuan pemerintah yang tidak dipakai dan surat karatan. "Kalau kondisinya sudah karat bisa berbahaya untuk dimanfaatkan karena hasilnya tidak higienis lagi," ujarnya.

Tidak adanya mesin yang memadai itu berdampak terhadap biaya produksi garam yang harus dikeluarkan. Dalam setiap kali produksi, tidak cukup dikerjakan oleh tiga orang saja tetapi harus lebih. Tenaga manusia itu ongkosnya lebih mahal daripada menggunakan mesin. "Dengan biaya produksi yang tinggi maka harga di pasaran secara otomatis akan mahal. Ini berbeda dengan garam perusahaan yang lebih murah," kata Fathor.

Kesenjangan harga itu kemudian juga berdampak kepada kondisi pemasaran. Selama ini, pemasaran yang dilakukan petani masih tradisional. Tidak ada promosi yang didukung oleh pemerintah. Peredarannya pun masih sebatas tingkat lokal Madura saja. Untuk diedarkan keluar daerah masih terkendala dengan ijin edar dan ijin produksi dari Departemen Kesehatan.

"Ijin ini seharusnya dibantu oleh pemerintah sehingga petani lebih mudah. Apalagi prosesnya panjang harus sampai ke Jakarta dan biayanya mahal," tegas Fathor. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com