Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jusuf Kalla: Bendera Aceh Bisa Dievaluasi

Kompas.com - 01/04/2013, 03:25 WIB

Jakarta, Kompas - Untuk menyelesaikan polemik bendera dan lambang Aceh dibutuhkan konsultasi yang intens antara Pemerintah Aceh dan pusat. Presiden perlu segera menugaskan menteri untuk berdialog langsung di Aceh. Simbol Gerakan Aceh Merdeka sebenarnya bisa dievaluasi.

”Asalkan Pemerintah Aceh maupun pusat sama-sama memiliki komitmen untuk menyejahterakan warga Aceh, seperti yang menjadi dasar penyelesaian saat ditandatanganinya Nota Kesepahaman Helsinki antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM),” kata inisiator perdamaian Aceh, Jusuf Kalla, yang juga mantan Wakil Presiden RI, Minggu (31/3).

Menurut Kalla, kalau tidak Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan yang datang, bisa juga Menteri Dalam Negeri. ”Tetapi harus menteri, dan jangan seorang direktur jenderal,” ujarnya.

Kalla menambahkan, sah-sah saja jika Pemerintah Aceh ingin menggunakan simbol GAM untuk mempersatukan komponen di Aceh. ”Tujuannya baik, tetapi harus diingat apakah itu mendatangkan perdamaian dan kerukunan di Aceh, misalnya dengan orang Gayo dan juga dengan pemerintah sendiri?” katanya.

Sah-sah pula, lanjut Kalla, jika kemudian pusat mempersoalkan penetapan simbol GAM dalam qanun atau peraturan daerah di Aceh. ”Sebab, dalam Pasal 4.2 Nota Kesepahaman Helsinki, semangat yang ada adalah perdamaian antara GAM dan pusat sehingga atribut anggota GAM tidak lagi menggunakan simbol atau lambang-lambang GAM,” katanya.

Dalam pertemuan di Jakarta, yang dihadiri Gubernur Aceh Zaini Abdullah, tahun lalu, Kalla juga hadir. ”Saya mendukung Aceh memiliki simbol seperti daerah lainnya. Namun, kalau sekarang simbol itu merusak sendiri perdamaian di Aceh, perlu dievaluasi,” katanya.

Kalla mengusulkan, ada baiknya Pemerintah Aceh kembali menggunakan simbol kejayaan Aceh pada masa Kesultanan Aceh di masa silam. ”Simbol itu juga akan menunjukkan kejayaan, persatuan, dan perdamaian Aceh,” ujarnya.

Sebagaimana diketahui, polemik bendera dan lambang Aceh terjadi setelah, pada pekan lalu, DPR Aceh menetapkan Qanun Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh. Reaksi datang dari Kementerian Dalam Negeri, yang mengevaluasi kembali qanun tersebut. DPR Aceh sendiri bersikeras menolak perubahan dari bendera dan lambang Aceh.

Tanggung jawab bersama

Juru runding perdamaian Pemerintah RI-GAM, Teuku Kamaruzzaman, mengungkapkan, setelah perjanjian damai Nota Kesepahaman Helsinki disepakati, tekad masyarakat Aceh untuk bersatu dengan Negara Kesatuan RI sebenarnya sudah final.

Persoalannya kemudian adalah bagaimana mengomunikasikan kepentingan-kepentingan di Aceh berdasarkan aspirasi yang ada, dan kepentingan-kepentingan dalam kerangka Negara Kesatuan RI secara baik. Komunikasi yang dibangun tak cukup hanya antara pusat dan Pemerintah Aceh, tetapi juga komunikasi antara eksekutif dan legislatif Aceh, serta antara Pemerintah Aceh dan rakyat Aceh.

”Saya tidak melihat kekhawatiran dalam kerangka merdekanya Aceh dari Negara Kesatuan RI. Yang terjadi saat ini adalah adanya kekhawatiran atas kewenangan-kewenangan Aceh yang tereduksi oleh pemerintah pusat,” katanya.

Kondisi itu kian diperparah oleh begitu banyaknya butir di dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), sebagai kelanjutan dari Nota Kesepahaman Helsinki, yang sangat multitafsir. Tercatat ada 96 pasal di UUPA yang multitafsir. Ada pula poin-poin UU tersebut yang diikat dengan ketentuan nasional atau ketentuan umum.

”Ini masalah egosektoral. Bahkan, banyak kementerian yang tidak rela kewenangannya tereduksi berdasarkan UU Pemerintahan Aceh. Misalnya, masalah revenue 70 persen dan 30 persen sumber daya alam sampai sekarang tidak jelas. Demikian juga pengelolaan mineral sumber daya alam,” kata Kamaruzzaman.

Jika tidak dikomunikasikan dengan baik, lanjutnya, persoalan hukum yang multitafsir itu dapat merebak menjadi konflik. Komunikasi termasuk antara Pemerintah Aceh, elite-elite politik di Aceh, dan masyarakatnya. ”Bagaimana mereka mengomunikasikan persoalan kepada masyarakat secara benar juga sangat penting. Jangan sampai dikomunikasikan berbeda juga,” kata dia.

Pemerintah pusat juga diminta tak membiarkan Aceh mengatasi persoalannya sendiri. ”Yang terjadi selama ini cenderung pembiaran. Baru setelah semuanya meletus jadi persoalan, pemerintah pusat terkejut, seperti Qanun Bendera dan Lambang Aceh ini. Seharusnya ini bisa diantisipasi jika sejak awal ada komunikasi yang baik soal aturan dan bimbingan,” ujarnya.

Dosen Ilmu Sosial dan Politik Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Saifuddin Bantasyam, mengungkapkan, sebagai daerah bekas konflik, Aceh perlu pendekatan khusus, yang berbeda dengan daerah lain di Indonesia.

Dengan kondisi psikologis, konflik belum sepenuhnya hilang dari benak masyarakat. Hal ini sangat penting untuk diperhatikan pusat mengingat pengalaman di beberapa negara menunjukkan hampir 70 persen daerah yang pernah konflik akan jatuh kembali ke konflik pada masa 10 tahun hingga 15 tahun setelah damai.

”Konflik Aceh selama 30 tahun diakhiri dengan Nota Kesepahaman Helsinki. Ini prestasi yang luar biasa. Karena itu, semua pihak harus menjaganya dengan baik, termasuk implementasinya,” kata dia.

Potensi konflik juga akan merebak jika ketidakpuasan-ketidakpuasan sepanjang masa damai terus memicunya. Ketidakpuasan ini bisa muncul dari distribusi kesejahteraan yang tidak merata serta perbedaan pandangan dalam implementasi kesepakatan damai yang tak terkomunikasikan dengan baik.

Budayawan Aceh, Fauzan Santa, mengatakan, bendera bulan bintang sudah sejak lama menjadi simbol Aceh. Namun, pada masa konflik, simbol bulan bintang termodifikasi sebagai bendera perjuangan. ”Identitas memang penting. Itu memberikan semangat. Tapi, tetap tidak lebih penting dari kesejahteraan, penguatan perdamaian, dan keadilan,” katanya.(HAN/MHF/HAR)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com