Ende, Kompas -
Sejak mengungsi sekitar Desember 2012 hingga saat ini, mereka tak pernah lagi menenun. Selain peralatan tenun yang tertinggal, secara ekonomi mereka juga tak mampu lagi membeli bahan tenun, seperti benang dan pewarna.
”Kami ingin sekali menenun kembali supaya dapat menambah penghasilan untuk keluarga. Selama di pengungsian, kami tak bekerja apa-apa,” kata Lutfina Huta (26), Selasa (26/3), warga Desa Reruwairere, Pulau Palue, yang mengungsi ke Desa Mausambi, Kecamatan Maurole, Kabupaten Ende.
Ia berharap ada bantuan dari pemerintah tidak saja dalam bentuk makanan, tetapi juga dalam bentuk bahan tenun, seperti benang dan pewarna. Di daerah itu harga selembar kain tenun dapat dijual sekitar Rp 200.000.
Sejak aktivitas Gunung Api Rokatenda meningkat pada Oktober 2012, gelombang pengungsi dari Palue mulai berlangsung. Sampai saat ini sekitar 2.700 warga pulau tersebut telah mengungsi. Sebagian dari mereka mengungsi ke Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka, dan sebagian lainnya mengungsi ke Ende.
Dari pengamatan di lapangan, Selasa pukul 12.30, kalangan ibu- ibu pengungsi umumnya berada di luar tenda. Mereka lebih banyak mengisi kesibukan di dapur pengungsian untuk menyiapkan makan siang. Sebenarnya, jika ada peralatan dan bahan tenun, banyak waktu yang dapat dimanfaatkan ibu-ibu itu untuk menenun.
Ketika dikonfirmasi, Pelaksana Tugas Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Sikka Eduardus Desa Pante mengemukakan, upaya pemberdayaan terhadap pengungsi sudah dibicarakan dengan lintas sektor.
”Termasuk dengan Keuskupan Maumere. Hal ini akan dimatangkan dalam rapat koordinasi di tingkat kabupaten,” kata Eduardus.