Jalan itu menembus sejumlah kawasan hutan lindung di provinsi tersebut.
Juru bicara Koalisi Peduli Hutan Aceh, Effendi Isma, Jumat (15/3), mengatakan, pembangunan jalan tembus itu memiliki dampak yang sangat luas bagi kelangsungan hutan di Aceh. ”Tak hanya akan menembus hutan, keberadaan jalan tersebut nantinya akan mempercepat kerusakan hutan yang dilintasi jalur itu,” kata Effendi.
Proyek pembangunan jalan tembus itu akan mulai dikerjakan tahun 2013 hingga 2018. Beberapa ruas kawasan hutan yang dilindungi terancam dengan pembangunan jalan tersebut, di antaranya Kawasan Ulu Masen dan Kawasan Ekosistem Leuser.
Pembangunan jalan tersebut akan makin melengkapi keterancaman hutan Aceh. Akibat perubahan RTRW Aceh yang baru- baru ini diajukan Pemerintah Aceh, sekitar 1,2 juta hektar hutan Aceh terancam berubah fungsi. Sejumlah hutan yang semula berstatus lindung terancam berubah jadi kawasan pertambangan dan perkebunan sawit.
Menurut Effendi, meskipun Pemerintah Aceh berdalih bahwa perubahan fungsi tersebut untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat dalam kepemilikan lahan, kenyataannya hanya sekitar 1 persen atau 14,704 hektar yang diperuntukkan bagi lahan masyarakat dari keseluruhan perubahan fungsi hutan. Alokasi terbesar justru untuk pertambangan, yaitu sekitar 1 juta hektar, kemudian penebangan kayu 416,086 hektar dan konsesi kelapa sawit 256,250 hektar.
Menurut Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Aceh Abubakar Karim, usulan perubahan hutan Aceh bukan 1,2 juta hektar. Perubahan yang terjadi hanya sekitar 29.000 hektar.
”Perubahan itu karena kami harus menyesuaikan dengan perubahan penggunaan lahan yang saat ini telah menjadi permukiman, persawahan, perkebunan, dan jalan,” kata Abubakar.
Muntdhar, anggota staf Bappeda Aceh, menambahkan, pembangunan jalan tembus telah diatur dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh yang merupakan cetak biru pembangunan infrastruktur Aceh.
”Tentunya analisis dampak lingkungan sudah kami jadikan kajian untuk membangun jalan tembus itu,” ujarnya.