AMBON, KOMPAS
Permohonan dari Kejaksaan Tinggi Maluku itu tertulis dalam surat yang dikirimkan kepada Pemerintah Provinsi Maluku, 7 Februari 2013. Tanggal 8 Februari, Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu meneruskan surat permohonan itu kepada Mendagri.
Belum adanya jawaban dari Mendagri itu disampaikan Sekretaris Daerah Maluku Ros Far Far, di Ambon, Kamis. Hal senada disampaikan Anton Hutabarat, Rabu (13/3).
Meski begitu, menurut Ros Far Far yang telah menanyakan masalah Tengko kepada Direktorat Jenderal Otonomi Daerah, Kemendagri tidak mempersoalkan rencana kejaksaan mengeksekusi Tengko. ”Menurut Dirjen Otonomi Daerah, silakan saja dieksekusi karena putusan Tengko sudah berkekuatan hukum tetap. Setelah dieksekusi, baru Tengko akan dinonaktikan,” tuturnya.
Namun, Anton tetap berharap Tengko dinonaktifkan dahulu sebelum kejaksaan menahannya. ”Memang sebenarnya kejaksaan bisa langsung menahannya meskipun Tengko masih menjabat Bupati Aru. Namun, untuk mencegah instabilitas keamanan di Aru, kami berharap Tengko dinonaktifkan dulu,” paparnya.
Penonaktifan Tengko diyakini akan melemahkan kelompok masyarakat yang selama ini mendukungnya. Hal itu juga bisa mencegah bentrokan antara kelompok masyarakat pendukung Tengko dan kelompok yang memintanya dieksekusi.
Tengko divonis bersalah mengorupsi APBD Aru tahun 2006-2007 oleh Mahkamah Agung, 10 April 2012. Putusan itu menjatuhkan pidana 4 tahun penjara, denda Rp 500 juta, dan keharusan mengganti kerugian negara sebesar Rp 5,3 miliar.
Namun, bukannya ditahan, Tengko yang sejak 2 Maret 2011 dinonaktifkan sebagai Bupati Aru karena ditetapkan sebagai terdakwa korupsi APBD Aru justru diaktifkan kembali untuk menjadi bupati oleh Mendagri sejak 31 Oktober 2012.