Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sinyal Bahaya BBM Bersubsidi

Kompas.com - 13/03/2013, 08:04 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Persoalan subsidi bahan bakar minyak tahun ini akan lebih menekan perekonomian nasional ketimbang tahun 2012. Bakal terjadi tekanan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta neraca perdagangan, juga akan berkomplikasi ke berbagai lini di sektor riil.

Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, A Tony Prasetiantono, Selasa (12/3/2013), menyatakan, realisasi sejumlah indikator terkait bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi selama Januari sampai awal Maret sudah cukup memberikan sinyal bahaya bagi perekonomian nasional tahun 2013. Indikator itu adalah harga minyak dunia dan produksi minyak siap jual.

Realisasi harga minyak dunia sejauh ini rata-rata 110 dollar AS per barrel atau 10 dollar AS di atas asumsi. Catatan tersebut sebagaimana pernah disampaikan Direktur Perencanaan Makro Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Leo Tampubolon, mengarah menjadi rata-rata realisasi selama 2013.

Artinya, menurut Tony, faktor harga saja sudah pasti menggelembungkan subsidi BBM sebesar 10 persen. Jika ditambah dengan faktor pertumbuhan konsumsi, total subsidi akhir yang harus digelontorkan pemerintah menjadi semakin masif.

Konsumsi BBM secara alami naik, rata-rata 8 persen per tahun. Dengan kecenderungan harga minyak dunia yang naik, Tony berpendapat, pertumbuhan konsumsi BBM bersubsidi akan lebih pesat karena terjadi migrasi pengguna BBM nonsubsidi ke BBM bersubsidi. Penyelundupan pun akan semakin marak.

Menurut Pelaksana Tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro, kuota BBM bersubsidi tahun 2013 berpotensi 52 juta-53 juta kiloliter. Ini jika tak ada program pengendalian signifikan. Kuota saat ini 46 juta kiloliter.

Pesatnya pertumbuhan konsumsi BBM juga ikut menekan neraca perdagangan. Pasalnya, produksi minyak siap jual tahun 2013 diperkirakan 830.000 barrel per hari atau anjlok 70.000 barrel dari asumsi. Kondisi ini akan mendorong impor migas.

Ekonom Sustainable Development Indonesia, Dradjad Hari Wibowo, menyatakan, defisit neraca perdagangan akan menggerus cadangan devisa. Ini sudah tampak dengan penurunan cadangan selama Januari-Februari yang lebih besar dari dugaan.

Data Bank Indonesia, cadangan devisa merosot 7,58 miliar dollar AS dalam dua bulan ini menjadi 105 miliar dollar AS per Februari 2013. Cadangan setara 5,7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia Zaldy Masita, di Jakarta, Selasa, menegaskan, penerapan Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2013 mengenai pembatasan subsidi BBM untuk angkutan barang dinilai tidak tegas. Akibatnya, pengusaha juga tidak bisa menaikkan tarif angkutan.(LAS/EVY/ARN/ETA/K07)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com