Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menikmati Keheningan Saat Nyepi di Bali

Kompas.com - 05/03/2013, 21:30 WIB

Empat pantangan itu, meliputi amati karya (tidak  melakukan kegiatan), amati lelungan (tidak bepergian),  amati geni (tidak menyalakan api), dan amati lelanguan (tidak mengumbar hawa nafsu maupun tidak mengadakan  hiburan atau bersenang-senang).

Oleh sebab itu, baik wisatawan maupun umat non-Hindu wajib mendukung dan menyukseskan umat Hindu dalam melaksanakan tapa brata penyepian dengan baik dan aktivitas tersebut juga membantu mengurangi keresahan dunia terutama dalam pemanasan global.

Wisatawan asing yang sempat dating ke Bali dalam acara pergantian tahun saka tersebut, akan mampu menyaksikan berbagai kegiatan ritual sehari sebelum dan sesudah nyepi  yang tidak ada duanya di dunia.

Sehari sebelum hari raya Nyepi, tepat pada bulan mati (tilem) melaksanakan upacara Bhuta Yadnya (mecaru) dan dilanjutkan pawai ogoh-ogoh yang berlangsung di seluruh desa di daratan pulau Dewata.

Pada saat Nyepi yaitu awal tahun baru Saka yang jatuh pada tanggal 1 sasih Kedasa dilaksanakan upacara Yoga Samadhi, saat inilah terjadi sepi sipeng, karena semua aktivitas masyarakat ditiadakan.

Sehari setelah nyepi ada kegiatan pemuda Banjar Kaja, Desa Adat Sesetan, Denpasar menyambut suka cita dengan menggelar tradisi omed-omedan atau sering diartikan ciuman massal.

Tradisi yang sudah dilaksanakan turun temurun itu selalu dinantikan warga Denpasar dan wisatawan asing. Ribuan warga rela berdesakan guna menyaksikan bagaimana tradisi tersebut digelar, Rabu (13/3) sore.

Sukadana, seorang tokoh masyarakat setempat menuturkan, tradisi ini sejatinya berasal dari kata omed yang artinya tarik sehingga memiliki arti tarik-menarik. Tradisi ini rutin digelar sehari setelah catur brata penyepian di Denpasar, tepatnya di Banjar Kaja, Sesetan.

Tarian dan doa mengawali ritual yang melibatkan puluhan pemuda pemudi setempat. Para pemuda lanjut berbaris satu-satu demikian juga pemudi yang berpakaian adat. Posisi mereka akhirnya berhadap-hadapan.

Di barisan depan, seorang pemuda dan pemudi yang dipilih untuk ritual ini diangkat oleh dua orang. Begitu aba-aba dimulai, mereka mendorong dua anak muda itu, bergerak maju hingga akhirnya berciuman.

Namun hanya hitungan detik, sang pemberi aba-aba menyiramkan air pertanda kedua kelompok muda mudi itu harus menghentikan ciumannya.

Ritual ini hanya dijalankan muda-mudi dari banjar bersangkutan yang telah ditentukan sebelumnya. Tradisi yang digelar sehari pasca-Nyepi selalu mendapat perhatian masyarakat luas yang khusus bisa menyaksikannya.

Masyarakat, kata Tokoh masyarakat itu mengatakan, tradisi aneh dan langka itu, sejatinya ungkapan kegembiraan anak muda di hari ngembak geni, dan di zaman modern ini tidak berani meninggalkan tradisi tersebut.

Kegiatan ini sebenarnya belum pernah ditiadakan, karena masyarakat tidak berani mengambil risikonya, bisa ada kejadian yang menakutkan yakni penduduk akan mengalami sakit sampai meninggal dunia.

Jadi kegiatan yang mengetengahkan muda mudi ini, konon sempat terjadi pertarungan dua ekor babi yang tidak jelas keberadaan dan siapa pemiliknya, maka lewat cara spiritual, ada petunjuk bahwa omed-omedan kehendak sesuhunan yang berstana di Pura Banjar dan harap diteruskan oleh warga.

Penulis adalah pensiunan Antara

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com