Kepala Dinas Pertambangan Sulawesi Utara (Sulut) Boy Tamon, di Manado, Senin (4/3), mengatakan, tempat kejadian yang terletak sekitar 45 kilometer arah tenggara Manado itu merupakan lokasi pertambangan emas tanpa izin. Daerah tersebut rusak akibat tak terkendalinya pertambangan liar.
Lubang-lubang galian yang dibuat tak beraturan sangat membahayakan petambang dan warga. Area pertambangan emas Tatelu seluas 100 hektar dipadati 2.000 petambang. Aktivitas itu berlangsung sejak tahun 1995.
Hingga Senin, upaya evakuasi terhadap dua petambang menggunakan alat berat terhambat karena medan yang terjal dan licin akibat hujan deras. Pencarian hanya dilakukan siang hari. Penggalian baru mencapai 20 meter.
Penggalian menggunakan ekskavator dilakukan sejak Minggu. Sebelumnya penggalian dilakukan secara manual, mengerahkan puluhan tenaga petambang.
Peristiwa itu terjadi Jumat (1/3) petang. Kedua korban tertimbun akibat tanah di atasnya tiba-tiba runtuh. ”Tim SAR terus mencari korban,” ujar Kepala
Meyla Tewu (19), istri Brian Telew, berharap suaminya dapat ditemukan. Brian—asal Desa Pinabetengan, Minahasa—baru delapan bulan bekerja di lokasi tambang. ”Ini pertama dia masuk lubang,” katanya.
Lintje Ratumbanua, ibu Arie, menjelaskan, anaknya sudah 10 tahun bekerja sebagai petambang di Tatelu. Hasil kerjanya dibelikan tanah dan membangun rumah. Beberapa hari sebelumnya, Arie pulang ke rumahnya di Pinabetengan. ”Tidak ada firasat Arie mendapat bencana, semoga dia masih hidup,” katanya. Lintje dan Meyla, bersama belasan keluarga sejak Sabtu malam berada di lokasi, menunggu kabar nasib anak dan suaminya.
Beberapa petambang mengungkapkan, di dalam lubang terdapat lorong memanjang yang menghubungkan dengan lubang galian lain. Namun, menurut Rano Mewengkang (27), rekan Brian, di sekitarnya terdapat tiga lubang galian berjarak 100 meter. ”Apakah mereka tahu jalan ke lubang lainnya?” katanya.
Lubang galian emas tempat Arie dan Brian terjebak adalah lubang tua yang digali sejak 2000. Rano menceritakan, September tahun lalu, ia lolos dari maut setelah sejumlah batu dan tanah jatuh saat ia berada di bawah.
Treisje Londa, ahli lingkungan dari Universitas Negeri Manado, mengatakan, longsor akan terus terjadi di Kota Manado dan Sulut akibat longgarnya izin lingkungan untuk pembangunan permukiman, kantor, dan gudang. Ratusan bukit yang melingkari wilayah kota telah dipangkas secara tak beraturan. ”Bukit di Kota Manado dipangkas dan dibiarkan gundul tanpa ada pematangan tanah yang baik. Ini rawan longsor dan banjir,” kata Treisje.(ZAL/WER/RAZ)