Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cletus, Tradisi Doka Tawa Tanah

Kompas.com - 19/02/2013, 01:22 WIB

Oleh Kornelis Kewa Ama

Sanggar seni umumnya hanya fokus dalam bidang tertentu, seperti seni tari, drama, atau seni musik. Namun, di Sanggar Seni Doka Tawa Tanah, siswa diajarkan pula tata krama dan pelestarian warisan leluhur, termasuk menghasilkan tenun ikat.

Sanggar Doka Tawa Tanah, yang dalam bahasa Sikka berarti ’emas kehidupan yang sedang tumbuh’, berdiri sejak tahun 1997 di Kampung Doka, Desa Uma Uta, Kecamatan Bola, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Kampung Doka terletak sekitar 19 kilometer dari Kota Maumere, NTT.

Untuk mencapai Kampung Doka, diperlukan waktu tempuh sekitar 20 menit. Namun, kondisi jalan yang rusak parah membuat waktu perjalanan menjadi dua jam.

Ongkos transportasi pun jauh lebih mahal, karena untuk mencapai kampung itu, orang harus menggunakan ojek dan berjalan kaki sekitar satu kilometer. Ongkos transportasi yang sebelumnya Rp 10.000 menjadi Rp 50.000.

Begitu kita menginjakkan kaki di Sanggar Doka Tawa Tanah, Cletus, sosok yang mengelola sanggar itu, menyambut tamunya. Sanggar ini sederhana, berukuran sekitar 10 meter x 8 meter, terbuat dari bambu dengan atap ilalang.

”Kalau melihat musik, tari, drama, dan tata cara menenun khas Sikka, orang mungkin bisa melihatnya di tempat lain. Tetapi, soal tata krama dalam berbicara maupun bertingkah laku sampai bagaimana masyarakat kami menyampaikan pendapat, bermusyawarah, dan menyelesaikan masalah, mungkin hanya sanggar ini yang ada programnya,” kata Cletus.

Setiap tamu yang berkunjung ke Kampung Doka akan dikalungi kain tradisional khas Sikka. Di sini disuguhkan pula tarian penyambutan Tuare Tala’u, yang menggambarkan para pejuang kembali dari perang membawa kemenangan.

Sang pahlawan dinaikkan ke udara dengan sebatang bambu. Di bagian ujung bambu diletakkan bantal tebal. Sang pemeran pahlawan pun dinaikkan dengan posisi tidur telentang. Kelima pria lainnya menegakkan bambu sambil menari berputar-putar. Jadilah sang pahlawan seakan terbang berputar di udara.

Sementara itu, tujuh perempuan menari berkeliling, mengikuti irama kendang, gong, dan gesekan bambu. Para penari memegang sehelai sapu tangan dan mengayun-ayunkannya ke arah sang pahlawan.

Selama tarian itu berlangsung, para tamu dijamu makanan dan minuman. Ada pula penerjemah yang mendampingi mereka dan memberikan apa pun informasi yang ingin diketahui pengunjung.

Mewarisi

Cletus mewarisi Sanggar Doka Tawa Tanah yang didirikan ayahnya, Carolus Jawa (almarhum). Dalam perjalanannya, sanggar ini seakan mempunyai tanggung jawab terhadap kehidupan sekitar 350 warga atau 60 keluarga di Kampung Doka. Tak hanya di bidang sosial-ekonomi, tetapi juga kecintaan kaum muda terhadap warisan leluhur.

Lewat sanggar ini cara menenun ikat, melestarikan tarian adat, lagu-lagu daerah, dan kearifan lokal seperti tradisi sako seng (gotong royong) diwariskan kepada kaum muda. ”Sako seng itu warisan mulia, tetapi mulai ditinggalkan masyarakat. Orang semakin memikirkan diri sendiri, tak peduli kepada orang lain,” katanya.

Padahal, ia menambahkan, ”Kebersamaan semacam itu adalah kunci untuk menyelesaikan semua masalah kami. Ini penting, apalagi untuk kampung yang letaknya jauh dari pusat pemerintahan.”

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com