Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cletus, Tradisi Doka Tawa Tanah

Kompas.com - 19/02/2013, 01:22 WIB

Agar tak berkesan menggurui, kearifan lokal disampaikan lewat kegiatan sanggar. Sambil belajar menari, misalnya, kearifan lokal diselipkan.

Di Sanggar Doka Tawa Tanah tak hanya kaum muda dan anak-anak yang belajar, tetapi juga para orang tua. Lebih dari 50 orang meramaikan sanggar ini. Mereka belajar menari, menenun, dan memainkan musik tradisional.

”Di sini mereka juga belajar memahami makna yang terkandung dalam budaya warisan leluhur itu. Tenun ikat, misalnya, bisa dikatakan sebagai pemberdayaan perempuan,” tuturnya.

Beasiswa

Cletus menyadari, menekuni budaya tradisional tak mudah. Selain berusaha menarik minat kaum muda untuk terlibat, dia relatif tak mendapat dukungan dari pemerintah daerah. Ia mencontohkan, kesempatan naik panggung yang diberikan pemerintah daerah hanya pada acara tahunan, seperti 17 Agustusan.

Untuk sekali naik panggung yang melibatkan 20-30 orang itu, honornya sekitar Rp 5 juta. Uang yang diperoleh dari naik panggung dan menjual kain tenun digunakannya untuk memenuhi kebutuhan operasional sanggar.

”Ada lima instruktur di sanggar. Mereka yang mengajar menenun dan menari. Nah, sebagian dari penghasilan itu untuk honor para instruktur,” kata Cletus, yang belajar menari dan menenun dari orangtuanya.

Dia berharap pemerintah daerah mau lebih berperan melestarikan budaya tradisional. Kain tenun khas Sikka, misalnya, bisa kembali populer kalau pegawai negeri sipil diwajibkan memakai kain tenun. Kini, kain tenun hanya dipakai pada acara-acara adat.

Di samping melestarikan seni tradisional, Sanggar Doka Tawa Tanah juga memberi beasiswa untuk anak- anak dari keluarga tidak mampu. Mereka membiayai 25 siswa SMP, SMA, dan perguruan tinggi dari Kampung Doka.

”Kami merasa ikut bertanggung jawab pada masa depan kaum muda (Kampung) Doka. Mereka berprestasi, tetapi kemampuan ekonomi orangtuanya lemah,” cerita Cletus tentang penerima beasiswa yang umumnya belajar di Kota Maumere itu.

Sebagai ”imbalan”, mereka yang mendapatkan beasiswa diwajibkan mengikuti kegiatan-kegiatan di kampung. Mereka juga menjadi anggota tidak tetap di Sanggar Doka Tawa Tanah.

Wisatawan

Selain itu, penerima beasiswa tersebut diwajibkan membagi ilmunya kepada warga setempat. ”Anak-anak muda itu mengajarkan bahasa Inggris kepada warga di kampung kami, dari anak-anak sampai orang tua. Mereka juga membagi pengetahuan umum dan tata cara menerima tamu supaya pengunjung (wisatawan) terkesan,” katanya.

Kedatangan wisatawan memang menjadi salah satu faktor penggerak ekonomi masyarakat setempat, terutama sejak tahun 2010. Ketika itu 140 peserta Sail Indonesia singgah di kampung tradisional ini.

”Mereka melihat keunikan tenun ikat kami dan mengenal tata krama di sini. Sejak itu, setiap pekan selalu ada turis asing yang datang ke Doka,” ujar Cletus.

Kedatangan wisatawan membuat tenun ikat laris dibeli sebagai suvenir. Sanggar Doka Tawa Tanah pun mendapatkan dana dari kunjungan mereka. Melihat peran sanggar dalam kehidupan masyarakat Doka, umumnya para turis lalu merogoh kocek untuk membantu biaya operasional sanggar.

Warga setempat pun merasakan peran sanggar dalam kehidupan mereka. ”Boleh dikatakan, apa pun kegiatan yang kami lakukan pasti didukung warga secara sukarela,” ujar Cletus yang memanfaatkan pula jejaring sosialnya sebagai donatur.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com