Jakarta, Kompas -
Dengan menggunakan Undang-Undang (UU) Perampasan Aset, menurut Yusuf, penegak hukum bisa merampas aset seseorang yang diduga berasal dari hasil korupsi meskipun tidak memiliki bukti seseorang itu melakukan korupsi. ”Perampasan aset dapat dilakukan tanpa memidanakan pemilik aset tersebut,” katanya.
UU Perampasan Aset bisa digunakan untuk merampas aset- aset milik koruptor yang buron ke luar negeri.
UU Perampasan Aset diperlukan karena penggunaan UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kurang efektif dalam memaksimalkan pengembalian uang negara dalam penanganan kasus-kasus korupsi.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, uang yang masuk ke kas negara dari penanganan kasus korupsi setiap tahun hanya ratusan miliar rupiah. Tahun 2010, misalnya, uang yang kembali ke negara hanya Rp 216,67 miliar. Bahkan, tahun 2011, jumlahnya menyusut jadi Rp 99,62 miliar. Jumlah itu jelas amat kecil dibandingkan dengan nilai korupsinya, yang diperkirakan mencapai triliunan rupiah.
Kepala Pusat Penerangan
Kemarin, Mahkamah Agung (MA) menerbitkan aturan baru mengenai perampasan harta kekayaan, termasuk rekening mencurigakan dan tak bertuan untuk negara. Aturan itu diterbitkan untuk menjembatani kekosongan hukum terkait perampasan aset yang berkenaan dengan tindak pidana pencucian uang.
Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur, Kamis (7/2), mengungkapkan, peraturan MA tersebut diterbitkan sebagai bentuk kerja sama MA
Ketua MA Hatta Ali menandatangani Peraturan MA No 1/2013 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Perampasan Harta Kekayaan dalam Tindak Pidana Pencucian Uang atau Tindak Pidana Lain, 29 Januari lalu. MA akan mengirimkan salinannya ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk dicantumkan di berita acara negara.
Sementara itu, Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch Abdullah Dahlan dan Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center Arif Nur Alam, kemarin, mengatakan, untuk meminimalkan korupsi yang melibatkan politisi, sudah saatnya aparat hukum memikirkan sanksi untuk partai politik sebagai institusi.