Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ombak Pantai Pattaya...

Kompas.com - 25/01/2013, 11:25 WIB

PUSAT Pattaya adalah mal. Di situ ada Central Festival dengan barang-barang bermerek yang jadi referensi seluruh umat konsumtif, Mike Shopping Mall yang menjual barang-barang murah dan terdapat kolam renang umum di ”roof top”-nya, Royal Garden Plaza, dan lain-lain. Tak ketinggalan jaringan hotel dan restoran yang namanya mendunia.

Di manakah letak Pattaya? Dia berada di persimpangan antara nostalgia dan déjà vu. Nostalgia: sebab generasi yang mengalami masa remaja pada akhir tahun 1960-an di Indonesia mengenal Pattaya lewat lagu terkenal kala itu, dinyanyikan band cewek Dara Puspita berjudul ”Pantai Pattaya”. Kata Darpus: ”...pasir putih di tepinya/deburan ombak berbuih/laksana mutiara putih... yeah.”

Déjà vu: dia menunjukkan perkembangan masa depan secara jelas, bahkan boleh jadi sejak tahun 1960-an, ketika ia dipuji cewek cantik Susi Nander (di mana ya dia sekarang?) dan teman-temannya dengan kesederhanaannya, dengan ”pasir putih di tepinya”. Di mana pasir putih itu? Bibir pantai yang tak terlalu lebar kini dipenuhi tenda-tenda tempat berteduh ribuan turis dari berbagai belahan dunia.

Yang berbuih adalah bir yang menemani orang-orang bersantai. Ketika laut pasang, pantai berpasir tak ada lagi karena air laut langsung menyosor tembok pembatas di pinggir jalan-jalan raya yang disesaki dari kendaraan umum sampai kendaraan pribadi.

Ya, ia di persimpangan masa lalu dan masa depan. Ia di persimpangan kenangan dan kekinian. Ia di persimpangan ekonomi rakyat dan kapitalisme global. Ia di persimpangan turisme keluarga dan perayaan hedonisme tubuh, termasuk seks. Apalagi? Oh ya, sebagaimana Bangkok, antara preferensi seksual, antara lelaki dan perempuan.

Kehangatan Pattaya

Pattaya terletak sekitar 150 kilometer di sebelah selatan Bangkok, Thailand. Banyak kendaraan umum dari Bangkok menuju Pattaya, di antaranya bus, berangkat dari terminal di bagian timur kota Bangkok, yakni Ekkamai. Soal kendaraan umum perlu sedikit disinggung.

Fasilitas angkutan umum di Thailand jauh lebih memadai dibandingkan umumnya kota-kota di Indonesia. Bangkok— macetnya kurang lebih serupa Jakarta—seperti sering diceritakan banyak orang, memiliki jaringan angkutan umum yang terintegrasi, dari bus, BTS, dan MRT. BTS, singkatan dari Bangkok Train System, dan MRT, singkatan mass rapid transport, akan segera dikembangkan menusuk seluruh sudut kota.

Gejala dari perkembangan itu sudah terlihat dari sekarang: bisnis properti mengantisipasinya dengan pembangunan apartemen di mana-mana, di tempat yang bakal dilalui BTS dan MRT. Nantinya Bangkok akan jadi kota apartemen.

Di Pattaya sendiri, kota penuh gaya, 80 persen manusia yang ada di situ adalah turis, dengan mudah orang mendapati kendaraan umum. Di antaranya mobil pick up berukuran besar, yang bagian belakangnya dibiarkan terbuka. Ini bisa dicontoh Jakarta. Dengan kendaraan umum terbuka, isinya bisa dilihat dari luar, para begundal tidak leluasa melakukan pemerkosaan.

Pick up terbuka ini menjadi favorit turis. Para turis kulit putih memilih bergelantungan—dengan itu barangkali mereka sudah merasa sangat bertualang. Ongkosnya 5 baht atau sekitar Rp 15.000, berputar-putar di pusat keramaian Pattaya.

Kalau kita cermati, yang sangat mencolok kehadirannya di Pattaya adalah turis-turis berkulit putih usia paruh baya sampai lanjut. Dalam bahasa gaul anak muda, opa-opa, begitulah. Di antara mereka banyak yang menggandeng cewek lokal. Ini lagi sisi sosiologis pertemuan Barat dan Timur.

Opa-opa itu barangkali sudah tidak dipedulikan lagi oleh istrinya di negerinya. Negeri yang dingin bertambah dingin. Di sini, di Pattaya, mereka tidak hanya menemukan kehangatan matahari tropis, tetapi juga cewek-cewek Thailand yang ramah. Konon, imigrasi Thailand banyak mengurusi para turis berumur yang ingin tinggal di Thailand.

Desa nelayan

Tadinya Pattaya adalah desa nelayan. Barangkali bisa dibandingkan dengan Kuta, Bali, kala itu. Lalu, pada tahun 1960-an, ia menjadi persinggahan para tentara Amerika saat Perang Vietnam. Riwayat ini bisa menjadi semacam potret kecil dari perkembangan global.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com