Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bandung, Kota Banjir...

Kompas.com - 18/01/2013, 03:36 WIB

Baleendah dalam bahasa Indonesia sepadan dengan Pondok Indah—nama perumahan elite di Jakarta Selatan. Namun, kisah bermukim di Baleendah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, tidaklah seindah namanya. Akibat terjangan banjir Sungai Citarum, perlahan-lahan kawasan ini mulai ditinggalkan. HARYO DAMARDONO dan DWI AS SETIANINGSIH

bu Euis (50), warga RW 020, Desa Cieunteng, Baleendah, bertahan hanya karena tidak ada pilihan. ”Rumah ibu rusak terendam banjir,” ujarnya saat ditemui di kontrakannya, Kamis (10/1). Dia mengarahkan telunjuk ke sebuah rumah berjarak kira- kira 100 meter dari kontrakannya. Rumah itu terendam air coklat hingga setengah tinggi ambang pintu.

Kenapa tidak pindah dari Desa Cieunteng? Memandangi kontrakan berlantai dua, yang lantai dasarnya ditinggalkan karena tergenang air, Euis berkata lirih, ”Ngontraknya hanya Rp 180.000 per bulan.”

Di sudut lain Baleendah yang ”lebih kering”, sewa kontrakan mencapai Rp 400.000 per bulan. Sementara lebih mendekati pusat kota, sudah pasti takkan terjangkau oleh Ibu Euis.

Impitan ekonomi telah memaksa Euis dan warga lain untuk bertahan. Warga setempat juga selalu mengaku akrab dengan banjir karena berpuluh tahun bermukim di tepi Sungai Citarum. Persoalannya, beberapa tahun belakangan, banjir makin menyengsarakan sehingga terlihat mulai ada relokasi swadaya.

Baleendah, utamanya Dayeuhkolot, berada di pertemuan Sungai Cikapundung dan Sungai Citarum. Kawasan ”tempuran” ini pernah menjadi ibu kota Bandung. Didirikan tahun 1670 oleh Bupati Wira Angunangun, Dayeuhkolot (berarti Kota Tua, dalam bahasa Sunda) dipilih karena di tepi Sungai Citarum. Sebagian kota dunia memang dibangun di tepi sungai sebagai akses transportasi.

Namun, pada 25 Mei 1810, Gubernur Jenderal Daendels memindahkan ibu kota Bandung sejauh 10 kilometer ke utara. Pemindahan ibu kota untuk mendekati De Groote Postweg, Jalan Raya Pos. Namun, dalam Buku Bandung, Citra Sebuah Kota (2007) karangan Robert PGA Voskuil dan kawan-kawan, pemindahan ibu kota juga karena ancaman banjir Sungai Citarum.

Kamis, Kompas mengamati nyaris tidak ada bangunan tua di Dayeuhkolot. Voskuil pun menyediakan jawabannya, bahwa Dayeuhkolot ”menghilang” agaknya karena Bupati Indradireja Adipati Wiranatakusumah mendirikan kota baru dengan material bongkaran dari kota lama.

Ringkasnya, dalam 200 tahun terakhir, bukan kali ini saja Baleendah dan Dayeuhkolot bermasalah sehingga ditinggalkan warganya. Walau justru pada masa republik, bukannya kolonial, menjamurlah permukiman dan kawasan industri di flood plain, dataran banjir Citarum.

Padahal, dibangunnya properti di flood plain tidak ubahnya menantang alam. Entah di mana kontribusi rencana tata ruang dan tata wilayah dalam pengaturan di wilayah Sungai Citarum. Hanya akibatnya yang terlihat dengan 17.259 keluarga atau 57.803 jiwa diterjang banjir. Mereka berada di tiga kecamatan, yakni Rancaekek, Baleendah, dan Dayeuhkolot.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com