AMBON, KOMPAS -
Kepala Dinas Kesehatan Maluku Ike Pontoh mengatakan, Rabu (16/1), dengan tercemarnya sungai dan sumber air itu, tidak tertutup kemungkinan warga Pulau Buru terutama yang tinggal di Kecamatan Waeapo sudah terpapar merkuri. ”Kami sudah meminta Dinas Kesehatan Buru beserta puskesmas di Waeapo untuk memantau kesehatan masyarakat, terutama dampak dari merkuri tersebut,” kata Ike.
Tercemarnya sungai dan sumber air itu diketahui berdasarkan penelitian Balai Teknik Kesehatan Lingkungan (BTKL) wilayah Maluku, awal November 2012. Titik-titik yang diteliti berada di lokasi penambangan emas secara tradisional di Waeapo. Merkuri digunakan untuk mengolah material tambang jadi emas.
Sungai yang tercemar merkuri melebihi ambang batas toleransi sebesar 0,001 miligram (mg) per liter (l), yaitu di hulu Sungai Wae-
Sementara sumber air yang diteliti yang juga ternyata tercemar merkuri berada di tujuh titik. Ketujuhnya berada di Anahonai, Wansait, Waegernangan, dan Masarete. Konsentrasi merkuri berkisar antara 0,00161 mg per l dan 0,0071 mg per l.
Menurut Ike, dalam jangka pendek, indikasi terpapar merkuri itu di antaranya kerap kesemutan di bibir, sakit kepala, dan gangguan penglihatan. Dalam jangka panjang, merkuri di tubuh manusia bisa memicu kanker dan tumor. Adapun ibu hamil yang terpapar merkuri bisa membuat anaknya terlahir cacat. Karena itu, Ike meminta Pemkab Buru konsisten menutup penambangan dan pengolahan emas secara tradisional di Buru.
Penelitian Universitas Pattimura, Ambon, Maluku, bulan Desember lalu, atas permintaan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Maluku, juga hasilnya sama. Menurut Adriani Banjar, salah satu peneliti, lingkungan di Waeapo sudah tercemar merkuri.
Rektor Universitas Iqra Buru Abdul Haris Fatgehipon mengatakan, selain untuk menyelamatkan masyarakat, areal pertanian di Waeapo juga patut diselamatkan. Tidak tertutup kemungkinan air sungai yang tercemar merkuri akan mencemari pula tanaman padi. Padahal, pertanian di Buru adalah salah satu lumbung pangan di Maluku.