HARYO DAMARDONO dan DWI BAYU R
Tahun 1998 saya menemui kepala unit transmigrasi (KUT) Sampit. Setelah membayar Rp 800.000, saya mendapat tanah 2 hektar. Niat awal saya kerja tailor
Mulyani urung menjadi penjahit karena para transmigran jarang menjahitkan baju. Bertani kelapa sawit—sesuai tren setempat—pun dilakoninya susah payah karena lahan usaha I seluas 0,5 hektar yang diterimanya berpasir, sedangkan lahan usaha II seluas 1 hektar ternyata milik penduduk asli.
”Sungguh gila. Akhirnya hanya pekarangan seluas 0,5 hektar yang layak ditanami. KUT menetapkan lokasi tanpa melihat lapangan,” tutur Mulyani.
Berulang kali Mulyani mengaku dikhianati pemerintah. Padahal, Mulyani kini Sekretaris Desa Biru Maju. Bagaimana pula nasib rakyat biasa?
”Di suratnya ditulis TUBun, artinya transmigrasi umum perkebunan. Namun, Bun-nya hilang. Akhirnya kami usaha sendiri. Dari awal juga mbabat alas sendiri, tidak dibantu pemerintah,” kata Mulyani. Pohon-pohon sawit rakyat merupakan saksi bisu perjuangan warga Biru Maju.
Tiba-tiba pada suatu malam buta tahun 2004, sebuah perusahaan kelapa sawit membuldoser lahan warga Biru Maju. Tanpa peringatan, juga tanpa ganti rugi. Dikawal aparat, lahan seluas 640 hektar diratakan, kemudian ditanami kelapa sawit.
Mulyani dan ratusan keluarga transmigran hanya mampu menahan geram. Lahan transmigrasi mereka dicaplok begitu saja. Mimpi menjadi petani, terutama petani komoditas sawit, sirna. Sekelompok orang seperti Mulyani bertahan hingga kini, tetap bertani di lahan lain, tetap tanpa hak yang jelas. Sementara puluhan keluarga lain kembali ke Jawa dan Sumatera.