Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menanti Masterplan untuk Semua

Kompas.com - 03/01/2013, 03:44 WIB

Oleh Ahmad Arif

Gempa Aceh 26 Desember 2004 membuka kesadaran warga dunia tentang bahaya tsunami. Namun, bagi Pemerintah Indonesia, pembuka kesadaran itu adalah gempa kembar pada 11 April 2012. Walaupun tidak diikuti tsunami, gempa itu menunjukkan rapuhnya mitigasi bencana di negeri ini. 

Sewindu pascatsunami Aceh 2004 nyaris tak ada kemajuan berarti dalam mitigasi bencana. Pada April 2012 akhirnya disusun Masterplan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) Tsunami. Hal itu tentu menerbitkan harapan besar.

Awalnya adalah rapat terbatas kabinet pada 16 April 2012. Saat itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membahas evaluasi kejadian gempa bumi Aceh 11 April 2012 serta antisipasi bencana mendatang. Dalam evaluasi terlihat betapa rapuhnya mitigasi bencana di Indonesia, mulai dari lemahnya sistem peringatan dini hingga kacaunya proses evakuasi.

Pertemuan itu memutuskan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) akan mengoordinasikan penyusunan rencana induk antisipasi ancaman tsunami 2012-2014. Sebulan kemudian, draf masterplan selesai disusun. Nilai anggaran yang diajukan Rp 16,7 triliun dalam kurun lima tahun. Untuk tahun 2013, anggaran disiapkan Rp 1 triliun.

Beberapa kegiatan yang akan dilakukan antara lain pemasangan sirene 1.375 unit, pembangunan tempat evakuasi sementara (shelter) 139 unit, pembangunan pusat pengendalian operasi di 50 kabupaten/kota, pembangunan rambu evakuasi di 51 kabupaten/kota, pengembangan 1.080 desa tangguh bencana, simulasi di 51 kabupaten/kota, sosialisasi dan diseminasi di 51 kabupaten/kota.

Sejumlah ahli gempa dan tsunami mengkritik keras masterplan itu. Mereka menilai masterplan disusun tergesa-gesa, tanpa dilandasi kajian ilmiah memadai (Kompas, 29 Desember 2012).

Penasihat BNPB Sudibyakto mengakui, masterplan disusun dalam waktu sangat pendek sehingga masih banyak kekurangan. ”Karena terdesak anggaran, peran perguruan tinggi dan peneliti diabaikan saat itu,” kata Sudibyakto yang juga Guru Besar Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. ”Saya setuju seharusnya masterplan didasari hasil penelitian rinci,” ujarnya.

Dia mencontohkan, untuk wilayah Cilacap, sudah ada peta landaan tsunami cukup rinci. ”Masalahnya bagaimana mendistribusikan shelter supaya fungsional, bagaimana desainnya harus dipikirkan lebih lanjut dan tidak boleh sembarangan. Tidak bisa hal itu diserahkan kepada konsultan,” katanya. ”Masterplan itu harus direvisi.”

Shelter tsunami

Dalam kasus di Cilacap, Jawa Tengah, Kepala Balai Pengkajian Dinamika Pantai (BPDP) Badan Pengkajian dan Penerapan Tek- nologi (BPPT) Rahman Hidayat mengatakan, lembaganya sudah meneliti ancaman tsunami di kawasan itu sejak 2006. Selain melacak jejak paleotsunami, timnya melakukan survei untuk mengetahui dampak tsunami Pangandaran. Mereka juga melakukan pemetaan risiko bencana tsunami dan membuat pemodelan di kawasan tersebut. Namun, dalam penyusunan masterplan, khususnya kawasan Cilacap, BPPT tidak dilibatkan.

Atas inisiatif sendiri, BPPT mengajukan usulan rencana pembangunan tempat evakuasi di Cilacap. ”Saya dan Widjo Kongko (Koordinator Tsunami Research Group BPPT) menyampaikan konsep dan langkah apa yang harus dilakukan terkait pembangunan shelter evakuasi di Cilacap pada Agustus 2012,” katanya.

Sebulan berikutnya, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Cilacap meminta BPDP BPPT untuk mendampingi dalam diskusi khusus terkait dengan rencana pembangunan tempat evakuasi di Cilacap. Pada kesempatan itu Widjo Kongko menjelaskan perlunya kajian yang serius dalam perencanaan. Salah satunya, pentingnya menggunakan peta landaan tsunami yang rinci dan berbasis riset.

Widjo dan Rahman menyampaikan usulan berupa bukit buatan. ”Tsunami di Cilacap berdasarkan simulasi, ketinggiannya diperkirakan sekitar 6 meter sehingga ideal dengan bukit terbuka hijau yang biayanya lebih murah dibandingkan bangunan empat lantai,” katanya. ”Desain di Cilacap akan berbeda dengan kebutuhan di Padang atau Banda Aceh. Intinya tiap tempat harus diperlakukan berbeda, tidak bisa dengan desain sama,” katanya. 

Dalam rapat itu, menurut Rahman, konsultan pemenang tender perencanaan hadir, termasuk Sudibyakto. ” Sayangnya, ’the show must go on. Business as usual’ . Sepertinya pekerjaan sudah telanjur di tangan konsultan. Hingga saat ini kami tidak pernah dihubungi, apalagi diminta pertimbangan,” kata Rahman.

Masalahnya, menurut Rahman, konsultan yang hadir saat itu mengaku awam tentang pekerjaan perencanaan ini. ”Prinsipnya, tidak harus BPPT yang melakukan pekerjaan itu, tetapi seharusnya pekerjaan itu dilakukan secara serius. Jangan hanya jadi proyek,” katanya.

Sebaliknya, Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho menyangkal jika pekerjaan shelter di Cilacap dipegang oleh salah satu konsultan. ”Masih usulan. BPBD mengusulkan bangunan tingkat empat. Bentuknya seperti escape building dan dijadikan kantor. Ada juga usulan bukit,” katanya. ”Dari BNPB malah menyetujui bentuk bukit. Tidak benar jika BNPB menolak bentuk bukit. Saat rapat saya yang justru mengusulkan bukit. Hanya anggarannya masih harus dihitung.”

Sutopo juga membantah keseragaman desain shelter tsunami. Bentuknya bisa bermacam-macam sesuai karakteristik geografis daerah. ”Fungsinya bukan hanya untuk shelter tsunami, melainkan multifungsi. Misalnya, bisa untuk pengajian, pertemuan masyarakat, olahraga, hingga kantor pemerintah,” katanya.

Keselamatan warga

Lepas dari silang sengkarut itu, Sudibyakto mengharapkan semua pihak bisa bekerja sama memperbaiki sistem mitigasi bencana. ”Selama ini masing-masing mengedepankan ego sektoral. Misalnya, BNPB bentuk Desa Tangguh Bencana, Kementerian Sosial membuat Desa Siaga Bencana, Kementerian Kesehatan juga punya program sejenis. Akhirnya tumpang tindih,” katanya.

Sudibyakto mengharapkan BNPB bisa memainkan perannya sebagai lembaga koordinatif. Artinya, menyatukan dan mewadahi berbagai kalangan, bukan sebaliknya, jalan sendiri dan meninggalkan para ahli. ”BNPB seharusnya bisa merangkul semua pihak,” katanya.

Yang diperlukan kini adalah kebesaran hati semua pihak untuk membuat Masterplan Tsunami menjadi lebih baik. Jutaan warga tergantung nasibnya pada cetak biru itu. Kesalahan pembuatan masterplan, selain merugikan anggaran negara, juga bisa menyebabkan jatuhnya banyak korban jika tsunami kembali terjadi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com