Jakarta, Kompas -
”Seharusnya kasus TPPU bisa ditindaklanjuti tanpa membuktikan adanya tindak pidana korupsi sebagai predicate crimes atau tindak pidana asal. Bahkan, justru TPPU bisa membuktikan ada tidaknya tipikor (tindak pidana korupsi),” kata pakar
Paradigma itu yang membuat Kejagung tidak bisa langsung menindaklanjuti temuan-temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengenai rekening gendut dan transaksi mencurigakan yang dilakukan pegawai negeri atau penyelenggara negara.
Laporan PPATK memang tidak memaparkan bukti-bukti seseorang melakukan korupsi, tetapi laporan tersebut terbilang lengkap khusus untuk perkara TPPU.
Sebetulnya dengan mengedepankan UU TPPU, penyidik bisa leluasa menerapkan asas pembuktian terbalik untuk membuktikan apakah kekayaan seseorang yang disimpan dalam sistem perbankan berasal dari kejahatan atau bukan. Jika yang bersangkutan tidak bisa menjelaskan asal-usul kekayaannya secara logis, kekayaan itu dianggap berasal dari hasil kejahatan, misalnya korupsi. Jadi, tidak perlu dicari dulu perkara korupsinya.
Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch, Febri Diansyah, mengatakan, kalaupun harus dicari perkara korupsinya sebelum menerapkan UU TPPU, penyidik bisa menggunakan Pasal 12B Ayat (1) Huruf a dan b UU Tipikor.
”Pasal tersebut mengatakan, jika nilai transaksi lebih dari Rp 10 juta, pihak penerimalah yang harus membuktikan itu bukan suap. Pasal 12B UU Tipikor itu sanksi pidananya 4-20 tahun,” kata Febri.
Selain lebih efektif menjerat koruptor, UU TPPU juga lebih efektif untuk memulihkan keuangan negara dalam bentuk pengembalian aset dan memiskinkan koruptor. Sepanjang 2012, uang yang bisa diselamatkan dari kasus-kasus korupsi yang ditangani kejaksaan Rp 294,4 miliar dan 500.000 dollar AS.