”Mengapa (muatan di Kapal Motor Penumpang Bahuga Jaya) tidak di-lashing
”Bagaimana dengan proses pemuatan? Siapa yang bertanggung jawab?” ”Ya, ada juru parkir. Truk yang berat di dek bawah, mobil di dek atas. Biasanya memang seperti itu. Tidak pernah bermasalah.”
Dialog itu terjadi di ruang sidang Mahkamah Pelayaran Jakarta, Kamis (22/11). Sidang digelar terkait tabrakan KMP Bahuga Jaya dan kapal MT Norgas Cathinka. Hakim Mahkamah Pelayaran, Benny Hartono, bertanya kepada Kepala Nakhoda KMP Bahuga Jaya Sahat Marulitua Manurung.
Dalam sidang yang sama, Ketua Majelis Hakim Mahkamah Pelayaran Utoyo Hadi bertanya kepada juru mudi KMP Bahuga Jaya, Imam Syafii. ”Saya takut,” kata Imam. Rasa takut itu membuat Imam tidak memperhatikan apa yang terjadi di anjungan.
Imam seharusnya menjadi saksi yang paling mengetahui proses tabrakan KMP Bahuga Jaya dan MT Norgas Cathinka. Saat kejadian, Rabu (26/9), hanya Imam dan mualim I yang berada di anjungan KMP Bahuga Jaya. Mualim I tewas akibat tabrakan itu.
Ironisnya, saat hakim menanyakan banyak hal, Imam mengaku tidak tahu, termasuk saat ditanya, apakah dia melihat ada kapal datang dari depan. ”Saya hanya fokus pada indikator kemudi,” ujarnya.
Lewat serangkaian sidang, majelis hakim Mahkamah Pelayaran, Selasa (11/12), memutuskan Su Jibling, mualim I MT Norgas Cathinka, bersalah. Su Jibling-lah yang harus memikul kesalahan, yang memicu tabrakan MT Norgas Cathinka dan KMP Bahuga Jaya yang menewaskan 7 orang.
Dalam persidangan terungkap bahwa dua kapal bermanuver tanpa berkomunikasi. Radio VHF kanal 16 (saluran internasional) tidak digunakan. Ship traffic control tak berperan mencegah tragedi itu. Norgas baru memanggil Bahuga setelah tabrakan, itu pun tidak dijawab.
Memasuki perairan Indonesia, lalu memasuki Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, hingga berlayar di Alur Laut Kepulauan Indonesia di Selat Sunda, MT Norgas Cathinka tak mengontak siapa pun. Berbeda halnya jika sebuah pesawat mengontak air traffic control saat memasuki ruang udara Indonesia.